Incest tidak selalu bersifat fisik atau seksual. Dalam psikologi, dikenal pula konsep emotional incest, ketika orangtua atau pengasuh menjadikan anak sebagai sumber dukungan emosional utama layaknya pasangan.
Meskipun tidak melibatkan kontak fisik, emotional incest tetap menimbulkan dampak psikologis negatif karena membebani anak dengan peran dan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan tahap perkembangannya.
Jenis incest lainnya dapat mencakup berbagai kombinasi hubungan dalam keluarga. Mulai dari antara ayah dan anak, ibu dan anak, saudara kandung, atau kerabat dekat seperti paman, bibi, sepupu, bahkan kakek.
Dikutip dari situs Alodokter, hingga kini tidak ada satu penyebab tunggal incest. Sejumlah faktor psikososial diketahui dapat meningkatkan risikonya, antara lain:
* Kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi, baik dari pasangan maupun orangtua
* Pengalaman kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan masa kecil
* Attachment trauma, yaitu ketakutan ditinggalkan yang ekstrem, biasanya muncul dari pola asuh yang tidak sehat
* Budaya atau tradisi yang melegitimasi pernikahan antar kerabat dekat
Dalam banyak kasus, pelaku incest menggunakan kekuasaan, tekanan psikologis, atau ketergantungan emosional korban sebagai alat kontrol.
Mereka kerap menciptakan dinamika yang membuat korban merasa tidak berdaya, bersalah, atau bahkan keliru menafsirkan pelecehan sebagai bentuk kasih sayang.
Munculnya grup "Fantasi Sedarah" juga menyoroti lemahnya sistem pengawasan platform digital terhadap konten berbahaya. Banyak netizen mempertanyakan bagaimana grup seperti ini bisa mencapai puluhan ribu anggota tanpa terdeteksi sejak awal.
Menurut jurnal Fakultas Hukum Universitas Brawijaya terkait “Kriminalisasi inses (hubungan seksual sedarah)”, komunitas daring seperti ini disebut-sebut sering tumbuh secara tersembunyi, memanfaatkan algoritma media sosial dan fitur privatasi grup yang membuatnya sulit terpantau.
Perubahan nama dari "Fantasi Sedarah" menjadi "Suka Duka" diduga merupakan taktik untuk menghindari pelaporan massal atau penghapusan oleh Facebook.
Namun, jejak digital tetap bisa ditelusuri. Banyak pihak mendesak agar platform seperti Facebook lebih aktif dalam menyaring dan menindak grup dengan kecenderungan kriminal atau penyimpangan ekstrem.
Di era digital saat ini, kekerasan tidak hanya terjadi secara fisik atau langsung. Kekerasan juga bisa difasilitasi oleh teknologi, seringkali tanpa disadari oleh pengguna umum maupun penyedia platform.
Grup semacam ini tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dan bertahan dalam ekosistem digital yang diciptakan untuk memperluas jangkauan dan mempercepat interaksi. Sayangnya, sistem ini juga bisa membiarkan kekerasan luput dari pengawasan.
Kekerasan yang difasilitasi oleh teknologi adalah bentuk kekerasan yang nyata dan merusak.
Platform digital memiliki peran besar dalam menciptakan ekosistem yang aman, bukan hanya bagi pengguna biasa, tetapi juga terutama bagi mereka yang rentan menjadi korban.