Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kisah Pelindung Kakatua Seram di Negeri Masihulan (1)

Antara , Jurnalis-Senin, 22 Februari 2021 |11:00 WIB
Kisah Pelindung Kakatua Seram di Negeri Masihulan (1)
Hutan di Desa Masihulan, Seram Utara, Maluku Tengah (Antara)
A
A
A

Beralih melindungi

Kehidupan para pemburu burung-burung endemik Pulau Seram dari Desa Masihulan perlahan berubah manakala Ceisar Riupassa (51) yang memimpin Yayasan Wallacea mendatangi desa yang berada di kawasan hutan penyangga Taman Nasional Manusela tersebut di 1998.

Pendekatan ekowisata dari para pelaku birdwatching seperti Yayasan Wallacea dan pelaku konservasi alam di Maluku dengan masyarakat lokal di Masihulan, mengubah pola hidup penduduk setempat dari berburu menjadi peduli terhadap keberlangsungan satwa dilindungi itu.

Seperti penuturan Bung Ceisar, "Yayasan Wallacea sangat concern dengan isu konservasi lingkungan, terutama apa yang terjadi di Desa Masihulan, yaitu penangkapan burung paruh bengkok. Kenapa? Karena kegiatan yang dilakukan sudah turun-temurun maka pada satu waktu lama-kelamaan burung paruh bengkok akan habis".

Saat pertama Yayasan Wallacea tiba di Masihulan belum ada target untuk membuat para pemburu atau penangkap di sana berhenti melakukan aktivitas perburuan paruh bengkok. Karena saat pertama perkenalan memang bukan ingin menangkap burung melainkan meminta diantar sebagai tamu untuk melihat burung paruh bengkok.

Yayasan Wallace lalu bertemu dan melakukan pendekatan dengan para pemburu burung di dalam hutan, di lokasi penangkapan burung. Mereka mengajak para penangkap burung beralih ke kegiatan ekowisata yang awalnya tentu memunculkan kebingungan bagi para pemburu, karena itu merupakan sesuatu yang baru.

Lagi pula, menurut mereka, burung itu ada untuk ditangkap bukan untuk dilihat atau diamati.

Mereka tidak percaya kalau ada wisatawan yang senang hanya dengan melihat burung paruh bengkok, khususnya kakatua seram, nuri bayan, nuri kepala hitam dan jenis paruh bengkok lainnya yang ada di sana. Sehingga respons mereka di awal memang sangat lambat meski dalam dua hingga tiga bulan berjalan sudah mulai menerima secara positif terhadap pekerjaan baru mengantar tamu wisata untuk melihat burung paruh bengkok, ujar Ceisar.

Mereka, kelompok pemburu si paruh bengkok pula lah yang membuat plafon pemantauan burung di dalam hutan itu atas pemikiran bersama Yayasan Wallacea dan peneliti asing yang sedang berada di sana. Plafon pertama dibuat bersama-sama di hutan atas Nina Tola, yang kemudian pindah ke plafon kedua di belakang Desa Sawai, hingga dibuat pula plafon ketiga di samping goa dekat dengan Desa Sawai.

Masih ada dua plafon lagi yang mereka buat, yakni plafon pemantauan burung di Morite dan Apiate yang berdekatan dengan Balai Taman Nasional Manusela.

Keterlibatan mereka dalam ekowisata yang baru dirintis bersama itu tidak serta merta menghentikan aktivitas perburuan burung-burung endemik yang dilindungi itu. Setidaknya butuh waktu sekitar tiga tahun bagi empat kelompok pemburu si paruh bengkok di sana untuk benar-benar berhenti total melakukan aktivitas yang selain mengancam keberlanjutan keanekaragaman hayati sekaligus melangar hukum tersebut.

Perubahan pola hidup mereka menjadi pelaku ekowisata dan konservasi juga membuahkan hasil di masa sekarang, di mana semua masih dapat melihat dan mendengarkan secara langsung aksi burung-burung paruh bengkok yang dilindungi itu dari atas ketinggian hingga 50 meter di antara rimbunnya pepohonan di hutan Negeri Masihulan. (Bersambung)

(Salman Mardira)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement