UDARA terasa dingin saat kaki mulai menginjak ranting dan daun-daun kering yang berserak di lantai hutan hujan Nusa Ina di Gunung Mauayaka, Negeri Masihulan pagi itu. Suara burung pun terdengar saling sahut-menyahut di antara rimbunnya kanopi pepohonan yang menjulang tinggi di sana.
Sambil memikul peralatan reflling langkah kaki Bung Noke, panggilan akrab Wakil Ketua Kelompok Birdwatching Masihulan Noke Lopez Sapulette (35), dan kawan-kawannya begitu lincah memimpin rombongan wisatawan menerabas hutan di kawasan penyangga Taman Nasional Manusela yang terletak di bagian utara Pulau Seram, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku itu.
Sementara Bung Jimi, panggilan akrab Jimmy Souhaly (41) yang merupakan anggota Kelompok Birdwatching Masihulan, terlihat berjalan sambil menenteng parang panjang yang memang selalu dibawanya manakala harus masuk ke hutan dan ke kebun.
Baca juga: Wisata Mangrove Luppung Manyampa Siap Jadi Percontohan Nasional
Benda tajam yang digunakannya sebagai alat proteksi diri itu menemaninya selama perjalanan menuju pos pengamatan burung paruh bengkok di hutan yang dikenal kaya keanekaragaman hayatinya itu.
Belum sampai di Plafon Mauayaka yang merupakan pos pengamatan burung tersebut setelah berjalan selama 45 menit mengikuti tanah hitam dengan jalan menanjak, mereka justru dihampiri mega mendung. Namun itu semua tidak menghentikan langkah untuk mencapai lokasi yang dituju.
Nusa Ina atau yang lebih dikenal sebagai Pulau Seram memang memilik hutan hujan tropis yang kaya keanekaragaman hayati. Sekaligus menjadi rumah bagi satwa endemik seperti burung paruh bengkok kakatua seram atau "Cacatua moluccencis", maupun burung-burung lainnya seperti kakatua koki, nuri bayan, nuri kepala hitam, kasturi tengkuk ungu, "fire birds", serta jenis paruh bengkok lainnya.

Persiapan mengamati kakatua di hutan Seram Utara, Maluku Tengah (Antara)
Terdapat setidaknya 17 satwa endemik di pulau tersebut. Hutan di Desa Masihulan menjadi salah satu tempat yang memiliki peranan penting bagi keberlanjutan keberadaan burung-burung endemik jenis paruh bengkok yang dilindungi itu.
Perjalanan menyusuri hutan penyangga Taman Nasional Manusela itu akhirnya berhenti di bawah sebuah pohon yang oleh warga Desa Masihulan disebut tawang.
Bung Noke dengan cekatan segera memanjat pohon yang menjulang dengan ketinggian puncak mencapai hingga 60 meter (m) itu, kemudian memasang reflling dan pengaman yang akan digunakan para tamunya mencapai Plafon Mauayaka di ketinggian 50 m dari permukaan tanah.
Sampai akhirnya, keringat di telapak tangan dan kaki yang mengalir selama hendak mencapai plafon itu pun terbayar dengan pemandangan matahari terbit di balik jajaran pegunungan di sisi timur hutan tersebut. Selanjutnya, menanti dan berdoa, sampai kakatua seram mau mampir dan bernyanyi di pucuk-pucuk pohon di sekitar plafon.
Baca juga: Lumba-Lumba Belang Langka Muncul Setelah 20 Tahun
Pengalaman mendebarkan menaiki pohon tawang dengan ketinggian menjulang serupa gedung 12 lantai dengan bantuan reflling tersebut menjadi hal baru yang menyadarkan betapa tidak mudah sekaligus berisikonya profesi yang mengharuskan seseorang memanjat pohon-pohon tinggi tersebut.
Pemburu paruh bengkok
Negeri Masihulan merupakan sebuah desa kecil yang ada di daerah pegunungan di bagian utara Pulau Seram. Masyarakatnya menjadikan hutan sebagai bagian terpenting hidupnya dan menjadi sangat bergantung kepadanya, terutama terhadap satwa-satwa yang ada di sana.
"Kehidupan masyarakat Masihulan sangat tradisional, di mana masyarakat masih hidup dengan berkebun dan mengolah hasil hutan. Pada tahun 70 hingga 80-an, masyarakat Masihulan masih mengenal sistem barter, di mana hasil tangkapan burung kakatua kemudian dibarter dengan produk-produk yang dibawa oleh para pedagang dari Ambon dan luar Maluku yang singgah dengan perahu layar di Teluk Sawai," kata pelaku ekowisita sekaligus pemilik Homestay Morite Sony Sapulette yang bercerita perihal kehidupan masyarakat di Negeri Masihulan pada periode 1970-an sampai 1980-an.