Perburuan burung paruh bengkok berlangsung lama bahkan ada yang mencapai tiga generasi. Sony pun yang mengaku sempat mengikuti jejak ayah dan kakaknya yang pernah berprofesi sebagai pemburu burung paruh bengkok di tahun 70-an hingga 80-an, namun kini berganti haluan melindungi burung-burung tersebut dengan menjadi pelaku ekowisata.
Ia ingat saat berusia lima tahun sudah mulai ikut ayahnya menangkap burung bersama dengan kakaknya, almarhum Bung Sai. Saat itu, mereka membarter hasil perburuannya dengan produk-produk yang dibawa pedagang-pedagang yang datang dari Ambon dan luar Maluku.
Ada pula yang membeli burung endemik kakatua seram plus lima hingga 10 ekor nuri kecil hasil perburuan mereka dengan harga Rp500 hingga Rp1.000 per ekor.
“Nilai Rp500 sampai Rp.1000, mata uang pada saat itu 'tu su' kuat sudah. Tapi Sebagian besarnya masih tukar menukar dengan barang dari pedagang luar yang datang, kayak 'kaeng', atau apa yang 'katong' butuhkan pada saat itu. Bahkan ada satu barang yang bisa ditukar dengan burung tiga sampai ekor," kata Sony mencoba mengingat lagi bahwa 35 sampai 40 tahun lalu nilai Rp500 sampai Rp1.000 sudah kuat dan hasil penjualan kakatua seram pun digunakan untuk bertukar barang di Masihulan.
Untuk menjadi seorang penangkap kakatua dan burung paruh bengkok lainnya memang harus mempunyai ketrampilan khusus, karena harus bisa memanjat pohon setinggi 40 hingga 50 meter, kata Sony.
Saat hendak menangkap kakatua seram maka seseorang harus punya kemampuan memanjat pohon tinggi, namun untuk nuri tengkuk ungu sang pemburu harus mampu memanjat pohon setinggi 10 hingga 15 meter saja.
“Beta (saya) putus sekolah sejak SMP, pengaruh karena tangkap burung. Akhirnya putus tengah jalan, mentok di SMP, 'seng' (tidak) lanjut," cerita Sony perihal dirinya yang memutuskan putus sekolah sejak SMP karena memilih menjadi pemburu burung paruh bengkok.
“Selain tangkap burung, beta juga bawa mobil, sempat jadi sopir perusahaan. Tapi kalau su rindu kampong (sudah rindu kampung), pasti pulang 'voor' (untuk) tangkap burung,” katanya melanjutkan cerita dirinya yang sempat menjadi supir perusahaan namun selalu rindu kampung dan memburu si paruh bengkok lagi.
Perburuan si paruh bengkok ternyata terukur dan terencana dengan baik oleh mereka yang memang berpofesi sebagai pemburu satwa endemik itu. Ada empat kelompok penangkap burung paruh bengkok di Masihulan, di mana masing-masing pimpinan kelompok bekerja secara terpisah dengan masing-masing anak buahnya.
Ada pimpinan kelompok yang memiliki tugas untuk memanjat pohon dan memasang jerat di ketinggian pohon sekitar 40 hingga 50 meter. Namun ada juga yang membuat jerat khusus untuk burung kakatua seram dan jenis nuri seram.
Ada pula yang bertugas khusus untuk menyiapkan perbekalan, ada yang menjadi surveyor yang bertugas menyurvei terlebih dulu pohon-pohon tempat burung-burung yang diincar itu tidur atau hinggap dan berteduh. Selaku tim survei, mereka tentu akan melaporkan pada pimpinan kelompok sehingga dapat ditentukan pula berapa banyak perbekalan yang harus disiapkan.
Di tahun 1998, harga kakatua seram dan nuri kepala hitam mencapai harga sekitar Rp15.000 sedangkan harga burung lainnya tentu jauh lebih murah. Jalur penjualan atau pembeliannya ada di Ambon melalui pengepul di Sawai dan Masihulan, yang kemudian dibawa ke Surabaya.
Namun tentu saja aksi perburuan mereka yang sudah dilakukan bahkan hingga tiga generasi membuat populasi burung paruh bengkok berubah, menjadikannya sangat langka. Lama kelamaan burung tersebut semakin sulit ditemui, karena berpindah pohon ke dalam hutan dengan jarak tempuh yang sangat jauh dijangkau dari pemukiman di Desa Masihulan.