JAKARTA – Lima cara mengajari anak membela diri saat dibully. Perundungan atau bullying masih menjadi masalah serius yang dihadapi anak-anak di berbagai lingkungan, mulai dari sekolah, tempat bermain, hingga dunia maya.
Tindakan ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti ejekan verbal, kekerasan fisik, pengucilan sosial, hingga intimidasi melalui media digital.
Dampaknya tidak hanya melukai fisik, tetapi juga meninggalkan trauma mental yang dapat menurunkan rasa percaya diri, mengganggu prestasi akademik, bahkan memengaruhi hubungan sosial anak dalam jangka panjang. Jika tidak ditangani dengan tepat, korban perundungan berisiko mengalami kecemasan, depresi, hingga menarik diri dari lingkungan sekitar.
Karena itu, peran orang tua menjadi sangat penting dalam membekali anak dengan keterampilan untuk melindungi diri. Pembekalan ini bukan sekadar kemampuan fisik untuk bertahan, melainkan juga kesiapan emosional dan sosial agar anak mampu merespons secara tepat tanpa menimbulkan kekerasan baru.
Orang tua perlu menciptakan komunikasi yang terbuka, memberikan contoh sikap tegas, dan mengajarkan cara mengenali tanda-tanda perundungan sejak dini. Dengan dukungan yang konsisten, anak akan memiliki kepercayaan diri dan ketangguhan mental untuk menghadapi serta melaporkan tindakan bullying. Berikut lima cara yang dapat diterapkan agar anak lebih kuat dan berani menghadapi situasi perundungan:
Langkah pertama adalah menciptakan “panggung sosial” yang aman. Ajak anak untuk menjalin pertemanan positif dengan teman sebaya yang suportif. Orang tua juga bisa berperan dengan mengenalkan anak pada komunitas atau kegiatan yang meningkatkan rasa percaya diri, seperti klub seni, olahraga, atau kelompok belajar. Lingkungan yang sehat akan membuat anak merasa memiliki dukungan dan lebih berani melawan tekanan.
Pertanyaan klasik yang sering muncul adalah: “Haruskah anak membalas pukulan?” Jawabannya tergantung situasi. Jelaskan kepada anak bahwa kekerasan bukan solusi utama, tetapi ada momen di mana pertahanan diri diperlukan untuk melindungi keselamatan. Orang tua dapat memberikan contoh sederhana, seperti menghindar ketika ancaman hanya berupa ejekan, namun segera mencari bantuan guru atau orang dewasa bila situasi berpotensi membahayakan fisik.
Ajarkan anak untuk tegas (asertif) dalam menanggapi pelaku bully. Gunakan latihan peran di rumah, misalnya dengan mengajarkan kalimat singkat dan tegas seperti, “Berhenti, saya tidak suka,” sambil menatap mata lawan dengan percaya diri. Sikap ini membantu anak menunjukkan keberanian tanpa harus bersikap kasar, sekaligus memberi sinyal bahwa ia tidak akan menjadi korban yang diam saja.
Selain kata-kata, respons non-verbal juga penting. Anak bisa diajari untuk tetap tenang, tidak menunjukkan rasa takut, dan segera menjauh dari situasi yang berbahaya. Dorong mereka untuk segera melapor kepada guru, konselor, atau orang tua bila intimidasi berlanjut. Tekankan bahwa meminta bantuan bukan tanda kelemahan, melainkan langkah bijak untuk melindungi diri.
Pada akhirnya, fondasi terpenting adalah dukungan keluarga. Berikan anak rasa aman di rumah agar ia tahu selalu ada tempat untuk bercerita. Pujian atas keberanian, latihan keterampilan sosial, hingga mendaftarkan anak ke kelas bela diri seperti karate atau taekwondo bisa menjadi cara efektif menumbuhkan rasa percaya diri. Semakin kuat mental anak, semakin kecil kemungkinan ia menjadi target perundungan.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)