Fort Roterdam
Destinasi wisata selanjutnya yang patut dikunjungi di Makassar adalah Fort Rotterdam. Lokasinya berada di pinggir Pantai Losari sebelah barat Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Bangunannya mungkin sudah tidak terlihat seperti sebuah benteng, namun ada beberapa bangunan di kompleks Fort Rotterdam.
Jika dibaca dari namanya, mungkin kita mengiranya Fort Rotterdam merupakan bangunan peninggalan Belanda. Namun, Jane pemandu wisata yang menemani saya berkeliling di Fort Rotterdam meluruskan anggapan tersebut.
"Ini merupakan situs sejarah peninggalan Kerajaan Gowa, karena sering banyak yang rancu karena namanya Fort Rotterdam dikiranya peninggalan Belanda, padahal bangunanya dibangun oleh Kerajaan Gowa," jelasnya.

Setelah mendengar penjelasan Jane, saya diajak masuk ke Museum La Galigo yang berada di kompleks Fort Rotterdam. Museum ini dibangun pada tahun 1938, awalnya bernama Celebes Museum. Namun, para cendikiawan pada tahun 1966 menggant namanya menjadi Museum La Galigo dengan dua pertimbangan.
"Secara mitos kita punya kisah klasik sastra terpanjang Mahabrata, itu kisah La Galigo serta asal usul suku-suku yang ada di Sulawesi Selatan," tutur Jane.

Museum La Galigo sendiri dahulunya pada zaman Hindia-Belanda merupakan gudang senjata dan penyimpanan rempah-rempah, lalu sekarang menjadi museum. Kini, museum telah direvitalisasi agar lebih menarik dikunjungi.
"Ini adalah museum umum, di sini kita menampilkan sejarah dan budaya Sulawesi Selatan. Museum ini kami revitalisasi agar lebih menarik bagi pengunjung, di antaranya ada 6 ruang pamer bertema," jelas Jane.
Pertama, Jane mengajak melihat Ruang Lintas Peradaban dan Sejarah. Di sini terdapat koleksi peralatan-peralatan manusia purba pra-sejarah. Ada batu-batuan yang digunakan manusia sebelum tahun 80 masehi. Kemudian, ada peralatan-peralatan zaman mesolitikum masih pra-aksara. "Mereka belum mengenal tulisan, jadi disimbolkan dengan tanda-tanda lukisan di goa-goa," ujar Jane.
Selanjutnya ada zaman batu baru, di mana manusia mulai mengenal tulisan, yakni pada tahun 20 sebelum masehi. Manusia pada saat itu juga sudah mulai mengenal cara berpakaian dari bahan kulit kayu dan batu ika.

Kemudian masih banyak koleksi-koleksi yang dipamerkan di ruang pamer lain di Museum La Galigo. Misalnya peninggalan dari Kerajaan Bone yaitu replika Sembangeng Pulaweng yang artinya selempang emas. Selempang emas ini terbuat dari perak sepuh emas berbentuk rantai. Kedua ujungnya terdapat bentuk medali bertuliskan bahasa Belanda sebagai tanda penghormatan kerajaan Belanda kepada Arung Palakka.
Kemudian ada replika La Tea Riduni atau alameng, sarung dan hulunya berlapis emas. Setiap raja yang mangkat dikebumikan bersama alameng ini. Selalu muncul di atas makam dan bercahaya terang benderang, hal inilah sehingga disebut La Tea Riduni karena tidak berkenan untuk dikebumikan.
Selanjutnya ada replika Keris La Makkawa yang disebut juga Tappi Tatarapeng. Keris ini sangat berbisa sehingga sekali tergores dalam sekejap akan meninggal atau dalam bahasa bugis disebut Makkawa. Pada masa kerajaan keris ini dipergunakan oleh Arung Palakka.
Lalu, ada koleksi senjata tajam suku Bugis. Orang Bugis Makassar memiliki semboyan bukan seorang Bugis kalau tidak memiliki badik dan bukan laki-laki kalau tidak memiliki badik. Nah, di sini ada koleksi senjata tajam seperti badik, keris, tombak dan parang yang merupakan hasil Panre bessi (Bugis) atau Pade'de bassi (Makassar), bagi suku Toraja pembuat parang disebut To'Mantappa Labok.

Pandai besi adalah orang yang memiliki ilmu dan kekuatan gaib. Tidak hanya memiliki kemampuan menempa besi menjadi senjata tajam, tetapi apa yang tampak pada sebuah senjata tajam seperti tanda-tanda khusus, urat-urat besi dan pamor merupakan simbol yang memiliki makna dan nilai tertentu.
Bagi orang Bugis badik bentuknya kecil dari kawaii biasa, besi pipih berwarna hitam dan dibuat dari bahan pilihan dan memiliki pamor. Sedangkan pada suku Makassar dikenal dengan Badik Taeng dengan ciri khas kale (bilah) pipih, battang (perut) buncit dan tajam serta cappa (ujung) runcing.
Kemudian, parang atau la'bo Bagi suku Toraja merupakan senjata tajam khas yang dipergunakan untuk menjaga diri dan dipakai sehari-hari untuk memotong kayu dan lain-lain. Sedangkan, tombak bagi suku Bugis Makassar berfungsi sebagai benda kebesaran kerajaan, digunakan pula untuk berburu hewan.

Masih banyak lagi yang bisa kita temui di Museum La Galigo, seperti miniatur rumah adat Suku Toraja, pakaian-pakaian adat Sulawesi Selatan serta miniatur kapal pinisi.

Sementara itu, pihak MNC Travel yang bersama Okezone mengeksplore sejumlah destinasi wisata menilai Makassar memiliki potensi wisata yang cukup besar. Bahkan, Makassar juga bisa berperan besar turut menyumbang kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) bagi Indonesia.
"Banyak sekali potensi wisata budaya dan sejarah seperti Makam Hassanudin, Benteng Somba Opu, Makam Pangeran Diponegoro, dan Fort Rotterdam. Indonesia memiliki potensi wisata yang besar, tidak menutup kemungkinan mencapai target 20 juta kunjungan wisman di tahun 2019," simpul Head of Marketing MNC Travel, Diana Ring.
(Helmi Ade Saputra)