Untuk masalah ini, produsen menyiasatinya dengan menambahkan antioksidan, yang menghalangi oksigen bereaksi dengan lemak. Antioksidan ini di antaranya adalah bumbu masak, vitamin dan lemon.
Produsen lain mengakalinya dengan memastikan konsumen mengonsumsi makanan tersebut sebelum proses reaksi itu terjadi.
"Ada makanan di pasaran yang khusus untuk dimakan dalam kurang dari dua bulan setelah produksi. Mengerikan juga bukan," ungkap Hodges.
Masalah juga muncul terkait hasil akhir makanan yang terlalu 'basah'. Udara dingin yang ada di microwave sebelum dipanaskan, cepat berubah menjadi air. Kondisi ini juga membuat makanan kehilangan kegaringannya. Tak akan ada kerak muncul di roti yang dipanaskan di microwave. Pizza juga jadi lebih encer.
Namun, sains punya solusi terhadap masalah ini: "bungkusan suseptor", yang bisa membuat roti yang di-microwave jadi punya kerak.
Masalah 'terberat' terkait makanan microwave tetap adalah rasanya yang tawar. Ini tentunya diakibatkan minimnya proses pematangan dan karena microwave menahan udara dingin. Oven konvensional mengeringkan permukaan makanan sehingga aroma nikmat makanan tidak keluar.
BACA JUGA:
Hodges pun mengatasi ini dengan menambah sayur-mayur yang sudah diasamkan atau asinan pada makanan microwave-nya. "Ini akan membantu membuat makanan terasa lebih segar dan tidak lagi hambar," ungkapnya.
Sejak ditemukan pada tahun 1945, microwave telah merevolusi bagaimana cara kita makan. Lasagna instan dari supermarket mungkin tidak seenak lasagna yang dibuat secara konvensional, tetapi sains terus berkembang, membuat makanan microwave semakin berasa enak. Namun, jika rasanya belum benar-benar pas untuk lidah Anda, sebaiknya tetap gunakan oven saja.
(Santi Andriani)