Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kamasutra Jawa, Gowok yang Pudar karena Melanggar Norma dan Agama 

Rani Hardjanti , Jurnalis-Minggu, 15 Juni 2025 |21:52 WIB
Kamasutra Jawa, Gowok yang Pudar karena Melanggar Norma dan Agama 
Kamasutra Jawa, Gowok yang Pudar karena Melanggar Norma dan Agama. (Foto: Layar Tangkap Trailer Film Gowok: Kamasutra Jawa)
A
A
A

TRADISI Gowok dianggap sebuah hal yang tabu. Namun praktik Gowok pada catatan budaya memiliki tempat tersendiri dalam budaya masyarakat Jawa kuno.

Diperkirakan budaya Gowok mencapai puncaknya pada abad ke-15 dan mulai hilang pada dekade 1960-an. Hal itu seiring perubahan nilai sosial dan pengaruh agama yang semakin kuat. 

Kini Gowok kembali ramai diperbincangkan lantaran kisah tersebut kembali diangkat ke dalam film layar lebar. Diproduksi oleh MVP Pictures dan Dapur Film, kisah Jawa kuno itu dikemas dalam film berjudul 'Gowok: Kamasutra Jawa'.  

Bahkan, Menteri Kebudayaan hadir pemutaran film tersebut, sebagai bentuk dukungan nyata pemerintah terhadap kebebasan berekspresi dan kemajuan sinema nasional.  “Menurut saya ceritanya sangat menarik karena mengangkat sebuah tradisi yang mungkin kini telah punah. Akulturasi berbagai budaya di Indonesia menjadikan negeri ini kaya akan peristiwa dan kisah yang layak diangkat ke layar lebar," ucap Fadli Zon.

Sosok Goo Wok Niang yang Abadi dalam Alkulturasi Budaya

Asal-usul tradisi ini bermula dari kedatangan Laksamana Cheng Ho ke tanah Jawa. Dalam novel 'Nyai Gowok' karya Budi Sarjono, disebutkan bahwa seorang perempuan bernama Goo Wok Niang memperkenalkan praktik ini, yang kemudian mengalami pelafalan lokal menjadi "Gowok".

Secara umum, Gowok merujuk pada perempuan dewasa yang berperan sebagai pembimbing bagi remaja laki-laki dalam memahami tubuh perempuan, termasuk mengenal bagian-bagian intim hingga praktik hubungan seksual. Tujuannya bukan sekadar pemuasan nafsu, melainkan sebagai bagian dari pendidikan untuk mempersiapkan kehidupan pernikahan.

Sementara itu, figur Gowok dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, digambarkan sebagai mentor seksual yang dipekerjakan oleh keluarga untuk mendidik anak laki-laki yang telah baligh. 

 

Waktu Pembelajaran

Ahmad Tohari menjelaskan, durasi masa pergwokan umumnya tidak lama, hanya beberapa hari hingga satu minggu. Fokus utama dari tradisi ini adalah membekali calon pengantin pria agar tidak merasa canggung atau gagal di malam pertama mereka.

Proses ini biasa disebut 'nyantrik', di mana sang anak tinggal bersama Gowok selama beberapa hari hingga satu minggu untuk belajar secara langsung.

Setelah menjalani masa pembelajaran, para pemuda umumnya dianggap lebih matang dan siap secara fisik dan emosional untuk memasuki pernikahan. Bahkan, mereka disebut-sebut akan lebih disukai oleh perempuan karena dianggap telah terlatih dan dewasa dalam urusan hubungan suami istri.

Menariknya, penyewaan Gowok bukan hanya dilakukan saat anak laki-laki mulai baligh, tetapi juga menjelang pernikahan. Pemilihan Gowok sering kali disepakati antara orang tua laki-laki dan calon mertuanya. Biasanya, yang dipilih adalah perempuan Jawa berusia 30–40 tahun, yang dinilai berpengalaman dan mampu menjadi pengajar yang bijak.

Tradisi Gowok sempat populer di daerah-daerah seperti Purworejo dan Banyumas. Namun, seiring masuknya nilai-nilai agama dan moral yang lebih ketat, praktik ini perlahan-lahan ditinggalkan. 

Pada era 1960-an, Gowok mulai menghilang, dianggap tidak lagi sejalan dengan norma sosial dan ajaran agama yang berlaku di masyarakat Jawa modern.

(Rani Hardjanti)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement