PRESIDEN Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini melantik Taruna Ikrar sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Usai dilantik, Jokowi lantas langsung meminta Taruna Ikrar untuk mulai mengendalikan harga obat yang mahal. Hal ini karena harga obat di Indonesia disebut-sebut bisa 400 persen lebih tinggi dibandingkan di luar negeri.
Menanggapi hal tersebut, Ketua Pengurus Pusat Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Noffendri Roestam menegaskan, bahwa obat di Indonesia sebenarnya sudah tergolong murah. Bahkan, dia mengklaim, saat ini mayoritas obat di Indonesia sudah terjangkau berkat akses jaminan kesehatan nasional (JKN).
“Menurut saya pemerintah itu sudah sukses menurunkan harga obat dengan adanya jaminan kesehatan nasional. Itu tidak ada lagi, selain Indonesia," ujar Noffendri saat ditemui di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Sabtu 24 Agustus 2024.
Noffendri juga membeberkan, bahkan sebanyak 90 persen penggunaan obat yang dipakai di Indonesia adalah generik. Sementara 10 persen sisanya merupakan pemakaian obat impor dan memiliki hak paten secara global.
Meski begitu, dia tak menampik, bahwa saat ini 90 persen bahan baku obat di Indonesia seluruhnya masih impor. Namun, dia memastikan bahwa hal tersebut bukan menjadi tolak ukur mahalnya harga obat.
“Bahan bakunya impor harganya sangat ekonomis, harga obat lokal yang beredar di pasar Indonesia masih lebih murah," tuturnya.
"Misalnya yang originator Rp20 ribu giliran yang generik bermerek yang diproduksi pabrik Indonesia harganya bisa Rp4 ribu, bisa seperempatnya. Bahkan kalau yang generik bisa sekitar Rp2 ribu harganya," katanya.
Sebagai informasi, usai dilantik sebagai Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Taruna Ikrar menegaskan dalam mengendalikan harga obat, BPOM tak bisa bekerja sendiri. Dia telah diminta Jokowi untuk berkolaborasi dengan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin.
“Soal itu, beliau meminta untuk kolaborasi dengan Menkes. Pak Menkes nanti kami akan koordinasi soal hal ini untuk instruksi pertama ini kami akan upayakan berjalan dengan baik dan lintas sektor,” tuturnya.
Selain itu, Jokowi juga mengingatkan perlunya pengembangan obat-obat inovasi. Pasalnya, banyak obat-obat dari negara produsen seperti Amerika, Jerman, Jepang yang dibutuhkan di dalam negeri.
“(Banyak) dibutuhkan di negeri ini, tapi ternyata bertahun tahun tak bisa sampai sini, dia terdampar di negara tetangga, misalnya Singapura. Ini akan berdampak berat ke masyarakat kita," tuturnya.
“Karena kalau mau pakai obat itu dia harus terbang ke luar negeri. Jadi saya melihat mungkin ada hubungannya juga dengan mafia obat internasional, hubungannya dengan bisnis pelayanan kesehatan internasional. Kita nggak menuduh negara lain, tapi nampaknya seperti itu ataupun ada hal lain yang membuat obat itu tak bisa masuk sini,” kata Taruna.
“Kemudian ada juga masalah obat dalam negeri terlalu lama disahkan. Beliau (Jokowi) meminta guidance percepatan clinical trial agar obat yang harus dipercepat tak perlu dibuat lama disahkan,” katanya.
(Leonardus Selwyn)