TUMPENG selalu hadir di tiap perayaan atau hajatan. Nasi kuning berbentuk kerucut yang disajikan dengan aneka lauk ini merupakan hidangan khas upacara adat Jawa, Bali, Sunda, dan Madura.
Tumpeng sekarang bukan hanya populer di Pulau Jawa, tapi masyarakat berbagai daerah di Indonesia juga menghadirkannya dalam setiap perayaan seperti selamatan, ulang tahun, syukuran, dan lainnya.
BACA JUGA:
Pada awalnya, tumpeng merupakan salah satu kelengkapan sesaji oleh masyarakat Jawa. Tumpeng tidak hanya sekadar makanan namun mewujudkan beragam simbol. Bentuk tumpeng maupun bahannya mempunyai simbol tersendiri.
Tumpeng mempunyai bentuk representasi hubungan antara Tuhan dengan manusia, serta manusia dengan sesamanya.
Tumpeng juga menjadi representasi dari puncak gunung atau konsep Ketuhanan. Konsep tersebut menjadi landasan dari bentuk tumpeng yang menjulang tinggi dan mengerucut.
BACA JUGA:
Mengutip dari artikel bertajuk Tumpeng dan Gunungan: Makna Simbolis Dalam Kebudayaan Masyarakat Jawa oleh Sutiyono, FPBS IKIP Yogyakarta, bentuk kerucut dari nasi tumpeng mirip dengan gunungan yang merupakan gambaran awal hingga akhir.
Atau, simbol kehidupan manusia dengan alam sekitarnya yang berawal dari Tuhan kemudian akan berakhir di Tuhan.
Lauk yang disajikan dalam tumpeng juga mempunyai arti. Biasanya lauk yang dihidangkan bersama tumpeng ini terdiri dari tujuh macam lauk. Pada bahasa Jawa, tujuh merupakan pitu, akronim dari pitulangan atau pertolongan.
Warna pada tumpeng juga mempunyai simbol arti. Tumpeng biasanya mempunyai warna kuning dan putih. Warna kuning menjadi simbol kemuliaan yang megah. Sementara tumpeng yang berwarna putih adalah simbol kesucian.

Upacara pemotongan tumpeng melambang rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu, juga sebagai ungkapan kebersamaan dan kerukunan. Tumpeng berfungsi sebagai simbol permohonan atas perlindungan, keselamatan, hingga ridha Tuhan untuk setiap hajat dalam hidup.
(Salman Mardira)