SAYUR lodeh selama ini dikenal sebagai hidangan autentik asal Indonesia, khususnya dari Tanah Jawa. Tapi siapa sangka, sayur lodeh ternyata rasanya sangat lezat hingga banyak yang menggemarinya dari dalam maupun luar negeri. Kemudian terkandung sejarah mendalam dari penganan ini.
Dikisahkan bahwa ketika wabah menyerang Yogyakarta pada 1931, sultan memerintahkan warganya untuk memasak sayur lodeh dan berdiam diri di rumah selama 49 hari. Lalu wabah berakhir.
Sayur lodeh sendiri dikenal sebagai makanan sederhana, tidak ada bahan-bahan istimewa di dalamnya. Sayur berkuah ini terbuat dari tujuh bahan utama dan siraman santan yang sedikit pedas.
Ahli gizi yang mempelajari hidangan ini mengatakan ada manfaat kesehatan dari bahan-bahan tambahannya, seperti lengkuas, yang dianggap mengandung kualitas anti-inflamasi.
Baca juga: Resep Sayur Lodeh yang Dipercaya Bisa Usir Wabah Penyakit
Mereka mengungkapkan, hidangan yang terbuat dari bahan-bahan musiman yang mudah didapat ini juga sangat cocok untuk masa karantina terkait pandemi covid-19.
Namun yang terpenting dari titah sultan untuk memasak sayur lodeh saat itu adalah pesannya tentang solidaritas sosial. Seluruh kota memasak makanan yang sama di saat bersamaan, menciptakan rasa kebersamaan yang kuat.
"Seperti banyak hal dalam kepercayaan Jawa, tujuannya adalah untuk menolak bala," ujar Revianto Budi Santoso, seorang arsitek, dosen, dan sejarawan Jawa, seperti dikutip dari BBC.
"Menghindari hal-hal yang tidak menyenangkan lebih utama ketimbang mencapai sesuatu sendirian. Orang Jawa berpikir, jika tidak ada rintangan, hidup akan menjaga dirinya sendiri," tambahnya.

Secara keseluruhan, hidangan Jawa kaya akan simbolisme. Nasi tumpeng, misalnya, yang terdiri dari campuran daging dan sayuran dengan mahkota nasi kuning berbentuk kerucut, mencerminkan tatanan dunia di bawah Sang Kuasa.
Nasi kuning sendiri dianggap membawa berkah bagi rumah dan bisnis baru. Sementara jamudalam manuskrip kuno ditulis sebagai 'jampi' atau 'usodho' adalah ramuan untuk kesehatan.
Sayur lodeh, secara linguistik dan numerologis, memperkuat simbolisme ini. Tujuh bahan utama yang ditambahkan ke kuah santan yakni melinjo, daun melinjo, labu siam, kacang panjang, terong, nangka, dan tempe memiliki makna simbolis yang diturunkan dari suku katanya.
Dalam bahasa Jawa, kata 'wungu' dari terong wungu berarti berwarna ungu, tapi juga bisa berarti 'terbangun'. Sementara lanjar dari kacang lanjar (atau kacang panjang) bisa dimaknai sebagai 'berkah'.
Baca juga: Gurihnya Sayur Lodeh Kesukaan Soekarno, Begini Cara Membuatnya
Memasak sayur lodeh bersama-sama juga bisa menjadi contoh slametan, sebuah kebudayaan komunal yang oleh antropolog Clifford Geertz disebut sebagai ciri utama budaya Jawa.
Lalu salah satu karakteristik mencolok dari slametan adalah pada kepasrahannya; sayur lodeh dibuat tanpa banyak harapan, apakah ia akan berhasil menolak bala atau tidak.
"Menariknya, sayur lodeh tidak bersifat individual," kata Santoso. "Ini adalah respons terhadap kemalangan yang sepertinya akan menimpa semua orang. Ini adalah upaya untuk mengurangi, juga menghindari, sesuatu yang sepertinya tak terhindarkan."
Bagi orang luar, salah satu hal menarik dari kisah keajaiban sayur lodeh adalah betapa tidak ajaibnya sayur itu sendiri. Bahan-bahannya dengan mudah dimiliki setiap rumah di desa.
Cara mempersiapkan hidangan ini pun mudah, cukup masukkan semua bahan ke panci, lalu jerang di atas api.
Dahulu, ritual memasak sayur lodeh dimulai setelah dua pusaka kerajaan yakni tombak dan bendera suci yang konon terbuat dari bahan yang diambil dari makam Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam lalu diarak keliling kota.
Tapi sekarang, sayur lodeh sudah seperti makanan biasa. Di samping kompleksitas linguistik dan numerologinya, ada sebuah kepraktisan, kebiasaan yang membumi, yang membuat slametan terasa bertolak belakang.