Bahkan banyak dokter yang masih belum paham akan sindrom ini dan mengusulkan saran tidak berguna seperti ‘minumlah banyak air agar kamu bisa pipis’. Padahal orang dengan paruresis tetap tidak akan bisa pipis. Beberapa penderita mungkin menahan pipis mereka terlalu lama sehingga berakhir di rumah sakit.
Jelas saja, hal ini sangat mengganggu bagi mereka yang sering ke toilet publik. Soifer pernah bekerja dengan orang yang tidak bisa pipis selama perjalanan kerja satu malam atau orang yang baru saja putus karena pacarnya tidak mengerti kenapa dia tidak mau traveling. Soifer sendiri juga pernah menahan pipisnya selama 16 jam perjalanan kereta dari Paris ke Madrid. “Pintu toiletnya tidak mau terkunci di kereta dan banyak orang yang duduk di luar pintu toilet. Tidak mungkin aku bisa pipis di sana.” Soifer pun mengaku baru sembuh dari paruresis setelah 20 tahun.
Rasa tidak nyaman yang diakibatkan oleh paruresis membuatnya berbeda dari fobia sosial yang lain. “Kamu mungkin akan mengalami gejala kecemasan fisik dari fobia pesawat atau elevator, tapi bukan rasa sakit.”
Gejala utama lainnya adalah kecemasan secara terus-menerus karena memikirkan dimana kamu akan pipis selanjutnya. Pikiran ini cenderung jadi obsesif: “Dimana aku bisa pipis, apakah ada orang yang mendengar atau melihatku (saat pipis),” ujar Soifer.
Menurut Soifer, dari sekian banyak orang yang ia rawat, hanya segelintir yang mengingat kejadian spesifik yang mengakibatkan mereka tidak bisa pipis di publik. Memang jarang ditemukan, tapi ini bisa berawal dari kekerasan seksual atau trauma, bisa juga merupakan akibat dari bullying di sekolah. Beberapa orang juga mengalami paruresis setelah operasi, ketika suster meminta mereka untuk pipis sebelum mereka pulang. “Hal itu bisa sangat mengganggu ketika seorang suster membawamu ke toilet dan menunggu di luar pintu,” ungkap Soifer.
Soifer pun juga menyebutkan bahwa 90% penderita yang mendaftar untuk pemulihannya adalah laki-laki.