Sementara di Indonesia sendiri, perusahaan Michelin memang belum membuka cabangnya. “Kalau mereka sudah masuk ke Indonesia, mungkin kuliner kita juga bisa masuk dalam daftarnya. Makanan itu tidak kalah enaknya dengan makanan luar, variannya pun sangat beragam,” ujar Stefu.
Terkait dua warung makan Singapura yang mendapat bintang Michelin pada tahun 2016 lalu, yakni Liao Fan Hawker Chan dan Hill Street Tai Hwa Pork Noodle, Stefu mengatakan bahwa hal tersebut menjadi sebuah fenomena unik yang kini tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat kuliner dunia.
“Tiba-tiba foodcourt bisa masuk itu jadi fenomena sendiri. Kita jadi tidak tahu standarisasi mereka sekarang itu seperti apa. Kalau dulu, semua restoran harus menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mempertahankan bintangnya. Jadi banyak restoran yang membuka bistro untuk ‘bertahan hidup’. Harga makanan di restoran berbintang Michelin itu sangat mahal. Tidak semua orang bisa mencicipinya,” tegas Stefu.
“Akibatnya banyak pemilik restoran yang stres, karena mereka harus mempertahankan rating agar masuk dalam daftar Michelin. Bahkan sempat ada yang bunuh diri. Dulu memang harus total untuk mempertahakan predikat itu,” tukasnya.
(Helmi Ade Saputra)