DEMAM Crazy Rich Asian yang tengah melanda masyarakat Indonesia menyisakan sebuah pertanyaan menarik seputar perkembangan industri kuliner Nusantara. Pasalnya, dalam salah satu adegan di film tersebut, tokoh utama yang diperankan oleh Henry Golding (Nick Young) tampak menyambangi salah satu warung makan, yang telah mendapat bintang Michelin pada tahun 2016 lalu.
Predikat restoran atau tempat makan berbintang Michelin sendiri merupakan sebuah bentuk apresiasi bergengsi yang diberikan kepada pelaku bisnis kuliner, karena dianggap menyuguhkan hidangan lezat sesuai dengan ciri khas mereka masing-masing.
Uniknya, hingga saat ini belum ada satu pun restoran maupun warung makan di Indonesia yang mendapat predikat bergengsi itu. Apa alasannya?
Menurut penuturan Chef Stefu Santoso, selaku Executive Chef Amuz Gourmet Restaurant, masyarakat Indonesia sebetulnya tidak perlu berkecil hati jika restoran-restoran dalam negeri belum masuk dalam daftar Michelin Star. Pasalnya, predikat Michelin Star sendiri memiliki sejarah yang unik.
“Michelin Star itu berasal dari perusahaan yang memproduksi ban. Jadi perusahaan mereka itu selalu keliling dunia. Dari situlah muncul ide untuk membuat guide atau rekomendasi makanan untuk para petinggi-petingginya,” tutur Stefu Santoso, kepada Okezone, di kawasan Jakarta Selatan, Jumat (21/9/2018).

Lebih Lanjut Stefu mengatakan, pada awalnya, setiap restoran yang mendapat predikat Michelin Star harus melewati standarisasi yang dilakukan oleh perusahaan terebut. Mulai dari kualitas bahan-bahan makanannya, kualitas wine yang mereka miliki, hingga pelayanan yang diberikan oleh kasir maupun pelayan yang ada di restoran.
Sementara di Indonesia sendiri, perusahaan Michelin memang belum membuka cabangnya. “Kalau mereka sudah masuk ke Indonesia, mungkin kuliner kita juga bisa masuk dalam daftarnya. Makanan itu tidak kalah enaknya dengan makanan luar, variannya pun sangat beragam,” ujar Stefu.
Terkait dua warung makan Singapura yang mendapat bintang Michelin pada tahun 2016 lalu, yakni Liao Fan Hawker Chan dan Hill Street Tai Hwa Pork Noodle, Stefu mengatakan bahwa hal tersebut menjadi sebuah fenomena unik yang kini tengah menjadi perbincangan hangat di kalangan pegiat kuliner dunia.
“Tiba-tiba foodcourt bisa masuk itu jadi fenomena sendiri. Kita jadi tidak tahu standarisasi mereka sekarang itu seperti apa. Kalau dulu, semua restoran harus menggelontorkan dana yang cukup besar untuk mempertahankan bintangnya. Jadi banyak restoran yang membuka bistro untuk ‘bertahan hidup’. Harga makanan di restoran berbintang Michelin itu sangat mahal. Tidak semua orang bisa mencicipinya,” tegas Stefu.
“Akibatnya banyak pemilik restoran yang stres, karena mereka harus mempertahankan rating agar masuk dalam daftar Michelin. Bahkan sempat ada yang bunuh diri. Dulu memang harus total untuk mempertahakan predikat itu,” tukasnya.
(Helmi Ade Saputra)