5 Fakta Terbaru Kebijakan Menkes Usul Dokter Umum Belajar Tangani Operasi Caesar

Wiwie Heriyani, Jurnalis
Jum'at 16 Mei 2025 11:23 WIB
Operasi caesar. (Foto: Unsplash)
Share :

JAKARTA - Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Budi Gunadi Sadikin, baru-baru ini mengusulkan agar dokter umum dilatih untuk melakukan operasi caesar, khususnya di daerah terpencil yang kekurangan dokter spesialis kandungan. 

Usulan ini memicu perdebatan di kalangan profesional medis dan masyarakat luas. Berikut adalah rangkuman fakta-fakta terbaru terkait kebijakan tersebut, dirangkum Okezone dari beberapa sumber, Jumat (16/5/2025).

1. Latar Belakang Usulan

Menkes Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa usulan ini didasarkan pada kondisi nyata di lapangan, di mana banyak daerah terpencil mengalami kekurangan dokter spesialis kandungan. 

Hal ini menyebabkan tingginya angka kematian ibu dan bayi saat proses persalinan. Menkes mencontohkan kasus di Pulau Nias, Pulau Taliabu, dan Pulau Anambas, di mana ibu hamil harus menempuh perjalanan panjang untuk mendapatkan layanan medis, yang seringkali berakhir tragis. 

2. Rencana Pelatihan dan Regulasi

Kementerian Kesehatan berencana untuk menyusun regulasi yang memungkinkan dokter umum mendapatkan pelatihan formal dalam melakukan operasi caesar. 

Pelatihan ini akan difokuskan pada tindakan penyelamatan nyawa dalam situasi darurat dan hanya diberikan kepada dokter umum di daerah yang tidak memiliki dokter spesialis kandungan. 

3. Dukungan dari WHO

Menkes menyebut bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendukung konsep "task shifting", yaitu pelimpahan tugas medis tertentu kepada tenaga kesehatan non-spesialis yang telah mendapatkan pelatihan khusus. 

Dalam konteks ini, dokter umum yang telah dilatih dapat melakukan tindakan medis darurat, termasuk operasi caesar, di daerah yang kekurangan tenaga spesialis.

 

4. Penolakan dari POGI dan IDAI

Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI) menolak usulan ini dengan alasan bahwa operasi caesar adalah prosedur kompleks yang memerlukan keahlian khusus. 

Ketua Umum POGI, dr. Yudi Mulyana Hidayat, menyatakan bahwa membolehkan dokter umum melakukan operasi caesar dapat membahayakan keselamatan pasien dan bertentangan dengan prinsip kompetensi medis berjenjang. 

“Kalau kita bicara pada fokus meningkatkan kompetensi kedokteran umum tentang seksio-sesaria, ini jelas wacana yang sangat membahayakan. Kenapa bahaya? Berarti apa? Kita mengorbankan keselamatan pasien dan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kompetensi medis berjenjang,” ujar dr. Yudi, baru-baru ini.

Selain itu, POGI mengingatkan bahwa tindakan seperti seksio sesarea merupakan intervensi bedah yang kompleks dan berisiko, sehingga harus dilakukan oleh dokter spesialis obstetri yang terlatih.

POGI juga menawarkan solusi alternatif untuk mengatasi kekurangan dokter spesialis di daerah terpencil, seperti merekomendasikan program pelatihan dan pendidikan berkelanjutan bagi dokter umum yang ingin memperdalam pengetahuan obgyn dengan dukungan dari fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan. 

Selain itu, POGI mendorong pemerintah untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan spesialis obstetri melalui penyediaan insentif bagi dokter spesialis yang bersedia bertugas di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. 

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) juga menyuarakan kekhawatiran serupa, menekankan pentingnya menjaga standar pendidikan dan pelatihan medis untuk memastikan keselamatan ibu dan bayi. 

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), dr. Piprim B. Yanuarso, menyatakan kekhawatirannya terhadap usulan Menkes yang mengizinkan dokter umum melakukan operasi caesar. 

Melalui akun Instagram pribadinya, dr. Piprim mengajukan pertanyaan retoris: "Gimana ibu-ibu hamil, apakah sudah siap dioperasi sesar oleh dokter umum? Gimana dokter umum, apakah siap operasi sesar?"

Pernyataan ini mencerminkan keraguan terhadap kesiapan dan kompetensi dokter umum dalam menangani prosedur bedah kompleks seperti operasi caesar, serta potensi risiko bagi keselamatan ibu dan bayi.

Selain itu, dr. Piprim menekankan pentingnya menjaga independensi kolegium dan konsistensi pelatihan berbasis keilmuan oleh para pakar di bidangnya. 

Ia juga menyoroti bahwa komunikasi antara Menteri Kesehatan dan komunitas medis perlu diperbaiki untuk menghindari kebingungan dan ketidakpastian di kalangan tenaga kesehatan. 

 

5. Tanggapan dari Dokter Obgyn

Usulan ini juga menimbulkan pro dan kontra di kalangan dokter spesialis dan praktisi medis. Mereka khawatir bahwa tanpa pelatihan dan keahlian yang cukup, risiko kegagalan medis akan meningkat, yang dapat membahayakan ibu dan bayi. 

Mereka menilai bahwa pelatihan dokter umum untuk melakukan tindakan sekompleks itu tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Salah satunya dari Dokter Spesialis Obstetri dan Ginekologi Kebidanan dan Kandungan, dr. Purnawan Senoaji. Melalui postingan di akun Instagramnya, dia memberikan pendapatnya terkait usulan Menkes tersebut.

Operasi sesar (sectio caesarea/SC) kerap dianggap sebagai tindakan medis yang "rutin" dalam dunia kebidanan dan kandungan. 
Namun, menurut dr. Purnawan, kenyataannya jauh lebih kompleks. 

“SC bukan hanya tindakan buka perut lalu lahirkan bayi," ungkapnya, melalui akun Instagramnya, @purnawansenoaji_dr. 

Yang justru lebih menantang adalah proses pengambilan keputusan: kapan SC diperlukan, seberapa mendesak, apa risikonya, dan bagaimana mitigasi komplikasi yang mungkin terjadi.

Kesiapan Dokter Harus Menyeluruh, Termasuk Hadapi Komplikasi Berat

Dr. Purnawan menekankan bahwa seorang dokter yang mampu melakukan SC seharusnya juga siap menghadapi kemungkinan terburuk, termasuk prosedur histerektomi atau pengangkatan rahim. 

"Dokter yang mampu SC harus mampu kerjakan histerektomi jika terjadi komplikasi untuk menyelamatkan nyawa pasien," ujarnya.

 

Model GP Obstetrician di Negara Maju: Bisa Ditiru Tapi Perlu Pengawasan Ketat

Di negara maju seperti Australia, Selandia Baru, Kanada, dan Amerika Serikat, telah diterapkan konsep GP obstetrician, dokter umum yang mendapat pelatihan khusus di bidang kebidanan untuk ditempatkan di wilayah pedesaan yang kekurangan dokter spesialis. 

Namun pelatihan ini setara dengan pendidikan spesialis dan berlangsung beberapa tahun. Selain itu, tindakan medis yang dilakukan oleh GP obstetrician tetap berada dalam kontrol ketat dari dokter spesialis yang menjadi rujukan wilayah tersebut.

Dr. Purnawan mengingatkan, konsep ini tidak bisa diadopsi begitu saja tanpa kontrol ketat dan seleksi mentalitas tenaga medis. 

“Yang sudah obgyn aja masih ada oknum yang terlalu mudah melakukan SC dengan alasan dibuat-buat. Kalau dokter umum yang baru dilatih juga seperti itu, bisa-bisa semua ibu hamil dianggap gawat hanya agar bisa SC di tempat itu, tanpa perlu rujuk," kritiknya.

Usulan: PPDS Obgyn Tahun Akhir Diterjunkan ke Daerah Tanpa Obgyn

Alih-alih melatih dari nol, dr. Purnawan menyarankan pendekatan lain yang dinilai lebih realistis dan aman. 

Ia mengusulkan agar PPDS (Program Pendidikan Dokter Spesialis) obgyn yang sudah mencapai tahap operatif dikirim ke rumah sakit di daerah yang belum memiliki spesialis kandungan, terutama di tahun terakhir pendidikan mereka. 

“Selain memberi layanan, mereka juga makin terampil secara operatif. Setelah lulus, bisa digantikan oleh adik tingkatnya. Ini bisa jadi bagian dari kurikulum," jelasnya.

Lebih lanjut, ia menyarankan agar Kementerian Kesehatan menetapkan sistem pembinaan wilayah oleh masing-masing institusi pendidikan dokter spesialis secara nasional. 

Dengan cara ini, daerah terpencil bisa memiliki akses terhadap tindakan emergensi yang memadai, pasien tertolong, dan dokter muda bisa mengasah keterampilan secara langsung.

(Qur'anul Hidayat)

Halaman:
Lihat Semua
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya