Kisah dan Tradisi Rabo Wekasan, Ternyata Ada 3 Versi

Kiswondari, Jurnalis
Senin 18 September 2023 13:03 WIB
Kisah dan Tradisi Rebo Wekasan, Ternyata Ada 3 Versi, (Foto: Dok)
Share :

KISAH dan tradisi Rabo Wekasan akan dijelaskan dalam artikel ini. Mungkin kalian pernah mendengar istilah Rabo Wekasan? Rabo Wekasan adalah salah satu warisan budaya yang sering diperingati oleh sebagian orang di Indonesia. Ternyata, ada unsur agama Islam dan budaya Jawa dalam tradisi Rabo Wekasan ini.

Lalu, seperti apa kisah dan tradisi Rabo Wekasan itu? Mari simak kisah dan tradisi Rabo Wekasan yang dikutip dari laman Kemdikbud, Senin (18/9/2023).

Kisah Rabo Wekasan

 

Upacara Rebo Pungkasan atau biasa disebut Rebo Wekasan, merupakan tradisi yang diadakan pada hari Rabu terakhir pada bulan Sapar atau Syafar yakni bulan kedua dalam kalender Islam. Sementara dalam kalender Jawa, Sapar adalah bulan kedua dan jumlah bulannya dua belas.

Terdapat tiga versi sejarah Rebo Wekasan. Versi pertama, tradisi ini sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang upacara ini masih tetap dilestarikan. Pada saat itu, hidup seorang kiai yang bemama Mbah Faqih Usman atau dikenal juga dengan Kiai Wonokromo Pertama atau Kiai Welit. Konon kabarnya, Kiai Welit ini memiliki kelebihan ilmu yang sangat baik di bidang agama maupun dalam penyembuhan penyakit.

Pada waktu itu, masyarakat Wonokromo meyakini bahwa Mbah Faqih Usman mampu mengobati penyakit dan metode yang digunakan atau dipraktikkan dalam pengobatan adalah dengan cara disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat Alquran pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada pasiennya sehingga pasien tersebut dapat sembuh.

Kemampuan Mbah Kiai Faqih ini terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I. Untuk membuktikan berita tersebut, Sri Sultan HB I kemudian mengutus empat orang prajuritnya untuk membawa Mbah Kiai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu. Ternyata, ilmunya mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena terbukti ampuh.

Saat Mbah Kiai meninggal dunia, masyarakat pun kemudian meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan berkah ketenteraman, sehingga setiap hari Rebo Wekasan masyarakat berbondong-bondong untuk mencari berkah.

Sementara pada sejarah versi kedua tidak jauh berbeda dari yang pertama. Hanya saja, upacara Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret.

Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600, di masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Wekasan ini diadakan sebagai wujud doa.

Sementara dalam sejarah versi ketiga, Kiai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kiai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu). Masyarakat mendatangi Kiai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.

Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Wekasan.

Tradisi Rebo Wekasan

Sebelum proses Rebo Wekasan dilakuka, biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan. Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo.

Setelah doa bersama lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo. Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa Jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregodo Mburi.

Bregodo Sembrani berjumlah sekitar 28 orang. Bregodo Mburi berjumlah 40 orang dan dipimpin oleh kapten bregodo. Bregodo Abang yang bertugas memikul berjumlah 20 orang, bregodo Gamelan berjumlah 10 orang yang terdiri dari satu peniup terompet, dua peniup seruling, 2 penabuh bendhe, 2 penabuh tambur dan 2 penabuh Jedog, sedangkan bregodo Umbul-umbul berjumlah 10 orang.

Sementara komando pusat dipegang oleh seorang Panji atau panglima perang. Panji ini bertugas mengatur pasukan yang mengawal Lemper Agung dan Gunungan tersebut sampai di hadapan Kepala Desa Wonokromo dengan aman. Sementara rute arak-arakan ini melewati jalan Imogiri Timur dan menempuh jarak sekitar 2 kilometer.

Selama prosesi lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, setelah itu lemper diturunkan di kantor balai desa. Setibanya di balai desa Wonokromo, Lemper dan Gunungan dinaikkan ke atas pendopo balai desa. Di hadapan pendopo, telah menunggu ribuan warga dari berbagai wilayah untuk berebut lemper dan gunungan tersebut.

Di atas pendopo, diadakan upacara pemotongan lemper. Diawali sambutan Kepala Desa Wonokromo, pemaknaan dari perayaan tersebut oleh sesepuh lalu doa bersama dan dilanjutkan pagas lemper atau pemotongan lemper oleh Bupati Bantul, Camat Kecamatan Pleret dan Kepala Desa Wonokromo.

Usai diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang merupakan puncak dari acara tersebut, lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutupi kekurangan. Gunungan yang dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Upacara Rebo Wekasan selesai.

Demikianlah informasi dan penjelasan mengenai kisah dan tradisi Rebo Wekasan yang dikutip dari laman Kemdikbud, semoga dapat menambah wawasan pembaca mengenai sejarah dan tradisi Rebo Wekasan.

(Kemas Irawan Nurrachman)

Halaman:
Share :
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Topik Artikel :
Berita Terkait
Terpopuler
Telusuri berita Women lainnya