Ketika penjual semi -permanen gelisah digusur, tepatnya tahun 1990 harus tergusur untuk dibangun hotel berbintang, Ki Ageng justru telah mempersiapkan diri. Dia telah menyewa tempat, tepatnya di seberang lapangan tembak.
Outlet kedua di Puncak Cimacan Bogor yang dulu jalur utama menuju Bandung dan daerah wisata, bersinergi dengan pemilik lahan yang masih famili dengan Ki Ageng.
Baca juga: Musim Hujan Paling Pas Makan Bakso Ayam Kuah Gurih, Yuk Simak Resepnya
"Outlet di Senayan dan di Puncak itulah awalnya. Kemudian berkembang puluhan outlet dan sekitar 80 persen outlet bakso lapangan tembak berlokasi di mal," jelas Agung, putra sulung Ki Ageng yang bersama dua saudaranya mengelola Bakso Lapangan Tembak.
Pemilihan lokasi di mal karena berbagai pertimbangan. Citra bakso yang dulunya pinggiran diangkat menjadi makanan papan menengah ke atas.
Untuk area Jabodetabek, kata alumni Jurusan Entrepreneur Universitas Bina Nusantara ini, rata-rata satu outlet menghabiskan 10 k ilogram bakso per hari, padahal ada sekira 50 outlet Bakso Lapangan Tembak, dengan serapan tenaga kerja minimal 15 orang per outlet.
Ada beberapa outlet di luar Jabodetabek yang omzetnya justru lebih tinggi. Ketika Krisis moneter (krismon) 1998 melanda Indonesia, ternyata berimbas pula pada bisnis Bakso Lapangan Tembak yang tengah menanjak dengan ratusan karyawan yang mencari nafkah di situ.
Baca juga: Resep Bakso Goreng, Kriuknya Bikin Susah Berhenti Ngunyah!
Banyak outlet di area Jabodetabek dijarah massa dan beberapa bulan pasca-krismon omzet bisnis bakso menurun tajam.
Ia tidak mem-PHK seorang karyawan pun, dan justru meyakinkan karyawan agar tetap bertahan dan jangan pulang kampung.