JAKARTA - Demam Babi Afrika atau African Swine Fever (ASF) masih menjadi ancaman serius bagi peternakan babi di Indonesia. Penyakit viral yang memiliki tingkat kematian tinggi hingga 100 persen ini belum memiliki vaksin yang benar-benar efektif.
Sementara itu dampak ekonominya sangat besar bagi peternak. Apalagi harga daging babi lebih mahal dibandingkan harga daging sapi di pasaran.
Akhirnya pemerintah melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian bersama Food and Agriculture Organization of The United Nations (FAO) memilih biosekuriti sebagai strategi utama pengendalian ASF. Biosekuriti ini diluncurkan melaui Community African Swine Fever Biosecurity Interventions (CABI).
Di mana CABI diklaim sebagai solusi praktis dan terjangkau dalam mencegah penyakit ASF. CABI sendiri melakukan langkah-langkah seperti memberikan pengetahuan tentang ASF, membina peternak untuk deteksi dini sehingga menghasilkan ternak yang sehat dan ekonomi meningkat.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian, Hendra Wibawa mengatakan bahwa secara ideal penyakit virus dapat dicegah melalui vaksinasi. Namun, hingga kini vaksin ASF masih dalam tahap pengembangan dan penggunaannya sangat terbatas dengan pertimbangan risiko tertentu.
Untuk itu, meningkatkan biosekuriti dianggap menjadi hal yang paling efektif yang bisa dilakukan sejauh ini.
“Karena keterbatasan vaksin, pemerintah mengikuti standar pengendalian yang ditetapkan Badan Kesehatan Hewan Dunia. Di tingkat peternak, langkah yang paling tepat saat ini adalah meningkatkan biosekuriti,” ujar Hendra saat Diseminasi Nasional CABI di Gran Melia Hotel Jakarta pada Rabu (17/12/2025).
Ia menjelaskan, prinsip biosekuriti bertujuan menjaga unit peternakan agar tidak terpapar penyakit sekaligus mencegah penyakit menyebar keluar. Prinsip ini diterapkan melalui serangkaian langkah, mulai dari pengawasan dan karantina, isolasi ketika terjadi kasus, pemusnahan terbatas (focal culling), hingga pembersihan dan desinfeksi kandang.
Hendra menekankan, meski terdengar sederhana namun penerapan biosekuriti ini membutuhkan kedisiplinan tinggi. Salah satu aspek yang sering diabaikan adalah pencatatan atau recording.
Padahal, pencatatan sangat penting untuk menelusuri sumber masalah ketika terjadi gangguan kesehatan atau penurunan produksi ternak.
“Kalau peternak mencatat, dokter hewan bisa tahu apa yang terjadi. Tanpa catatan, kita sulit menentukan sumber masalahnya,” jelasnya.
Di Indonesia, program CABI telah melatih 221 peternak babi sebagai proyek percontohan. Program ini juga menjadi bagian dari upaya memperkuat ketahanan pangan nasional, mengingat peternakan babi merupakan sumber mata pencaharian penting di sejumlah daerah.
(Rani Hardjanti)