JAKARTA - Jika ditanya, semua orang pasti ingin terus merasa bahagia. Ternyata menurut para ahli, kebahagiaan bukan soal keadaan, tetapi pola pikir dan ada caranya.
Tidak setiap saat individu bisa mendapatkan kebahagiaan. Bahkan ketika mendapatkan sesuatu yang dirasa akan membawa kebahagiaan seperti pekerjaan baru, mobil mewah, atau membeli barang yang diinginkan, kebahagiaan kadang hanya dirasakan untuk sesaat. Tetapi perasaan ini dapat memudar. Bahkan bisa muncul perasaan bersalah atau membutuhkan hal lain untuk bisa merasa bahagia.
Menurut Laurie Santos, Profesor Psikologi di Yale University, Amerika Serikat, ini merupakan masalah dari anggapan bahwa kebahagiaan datang dari perubahan lingkungan sekitar. Seperti dikutip SCMP, Rabu (3/9/2025), dia juga menambahkan “salah satu hal buruk mengenai kebahagiaan adalah karena manusia terbiasa dengan hal-hal baik”.
Misalnya ketika seseorang mendapat kenaikan gaji, orang tersebut akan merasa senang di awal. Namun ketika sudah terbiasa, kenaikan gaji tersebut tidak lagi membuat orang tersebut bahagia. Ini disebut sebagai “adaptasi hedonis” yang harus dilawan untuk benar-benar merasakan hal-hal baik.
Mendalami Kebahagiaan Melalui Ilmu Pengetahuan dalam Akademi
Santos bekerja sama dengan Profesor Tal Ben-Shahar, seorang pakar psikologi positif yang pernah mengajar mata kuliah tentang kebahagiaan di Harvard untuk membentuk Happiness Studies Academy. Ini merupakan sebuah lembaga berbasis di New York yang menawarkan sertifikat dan jenjang gelar master of arts dan PhD untuk mempelajari kebahagiaan berlandaskan ilmu pengetahuan.
Dalam penelitiannya, Santos berfokus pada perbandingan cara hewan berpikir serta bernalar dengan manusia. Hal ini juga yang menjadi latar belakang eksplorasi kebahagiaan saat ia menjadi kepala Silliman College di Yale tahun 2016.
Santos terkejut saat menemukan ada banyak mahasiswa yang mengaku terlalu depresi sehingga sulit beraktivitas, bahkan sempat mempertimbangkan untuk bunuh diri.
“Saya ingin melakukan sesuatu untuk membantu para mahasiswa. Bidang kami memiliki banyak jawaban, dan perlu bekerja lebih baik dalam menerjemahkan jawaban-jawaban itu menjadi hal yang bisa dipahami orang, sehingga mereka dapat mempraktikkannya”, imbuhnya.
Pada tahun 2018, Santos meluncurkan kursus tatap muka gratis di Yale bernama Psychology and the Good Life. Kursus ini menjadi kelas paling populer dalam 300 tahun di universitas tersebut.
Kemudian kursus ini berkembang menjadi podcast populer bernama Happiness Lab, serta kursus Coursera berjudul The Science of Well-Being yang dilakukan secara daring dari universitas serta perusahaan ternama dengan biaya yang terjangkau bahkan gratis.
Kursus di Coursera ini dirancang sebagai “laboratorium” di mana peserta diberikan “rewitements” mingguan yang merupakan tantangan latihan otak untuk “mengatur ulang” agar lebih terbiasa dengan pola pikir positif dan sehat. Tantangan ini dapat berupa latihan untuk bersyukur, berlaku baik, mindfulness dan mediasi, serta meningkatkan koneksi sosial.
Kursus ini membahas topik-topik berbasis riset, mulai dari pentingnya tidur dan olahraga, hingga manfaat psikologis dari menikmati momen serta menghindari perbandingan sosial. Sudah jutaan orang di seluruh dunia telah mengikuti kursus ini, bahkan dipuji karena pendekatan yang praktis serta mudah dipahami untuk meningkatkan kesejahteraan.
Temuan untuk Bahagia Berbasis Ilmiah
Santos menemukan bahwa teknik-teknik psikologis yang didukung data ilmiah bisa mengatasi “bias negatif” dalam pikiran, sehingga lebih mungkin untuk merasa bahagia. Dalam pemikiran konvensional kebahagiaan adalah bawaan genetik atau hasil dari lingkungan.
Menurut Santos, keduanya memang berperan. Namun setelah kebutuhan dasar hidup seperti makanan dan tempat tinggal terpenuhi, hal ini lebih bermanfaat untuk melihat kebahagiaan sebagai kondisi pikiran yang bisa dicapai melalui praktik hidup.
Santos mengatakan ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa kebahagiaan bersifat tetap, namun sebagian juga bisa berubah karena bawan dan terkait dengan gen. Namun komponen kebahagiaan yang bersifat psikologis tingkat pewarisannya tidak tinggi atau hanya sekitar 30 persen. Jadi ada kemungkinan besar bagi individu untuk merubahnya.
Menurut Santos, hambatan terbesar untuk meraih kebahagiaan adalah anggapan bahwa mengubah keadaan eksternal akan membuat manusia lebih bahagia. Padahal, dalam penelitian hal ini keliru. Sebab dengan mengubah keadaan tidak banyak mengubah kebahagiaan, karena kebahagiaan berasal dari mengubah perilaku dan pola pikir.
Santos juga mengatakan banyak penelitian menunjukkan bahwa aktivitas tertentu berkorelasi dengan peningkatan perasaan bahagia. Misalnya dengan belajar merasa cukup dengan apa yang dimiliki, menunjukkan rasa syukur kepada orang lain, serta mencoba terhubung secara sosial. Intinya adalah menyelaraskan pikiran dan melatih otak pada hal-hal positif serta meningkatkan kepuasan dalam hidup.
Mungkin hal ini akan terlalu sulit untuk menerapkannya. Maka dari itu Santos menawarkan versi yang lebih ringan, yaitu dengan mencoba menemukan kebahagiaan kecil setiap hari seperti mendengar tawa seorang anak atau menikmati kopi di pagi hari. Hal-hal sederhana ini dapat menghentikan bias negatif pikiran yang hanya terfokus pada hal buruk. Momen seperti ini secara bertahap akan menjadi kebiasaan dan memengaruhi kondisi pikiran individu dalam jangka panjang.
Baik Santos dan Ben-Shahar menyadari bahwa praktik ini tidak serta-merta membantu orang-orang yang menghadapi kesedihan atau masalah yang ekstrim.
(Rani Hardjanti)