Bagi Juniator Tulius, antropolog asal Mentawai, Sabulungan adalah sistem kepercayaan yang menyatukan roh alam dan manusia melalui ritual dan tumbuhan. Kata sabulungan juga bisa bermakna “kumpulan roh”, yang dihormati lewat persembahan seperti daun, darah ayam, atau nyanyian mantra.
Di dalam alam kepercayaan Arat Sabulungan, ada berbagai tingkatan roh. Roh penguasa langit disebut Kamanua—pemberi cahaya, hujan, dan kehidupan. Penguasa bumi disebut Taikabaga, sementara penguasa laut adalah Talkabakat Koat, dan penguasa hutan Taikaleleu. Ada pula Ulaumanua, roh besar tanpa wujud yang dipercaya sebagai kekuatan pencipta—sering disamakan dengan Tuhan dalam pemahaman Katolik lokal.
Manusia sendiri memiliki dua unsur roh: simagre (roh fisik) dan ketcat (roh jiwa). Simagre bisa keluar dari tubuh dan membuat manusia sakit. Maka, para Siagai Laggek—orang biasa yang memiliki kemampuan pengobatan ringan—bertugas memanggilnya kembali. Namun, ketika penyakit berat melanda, hanya Sikerei yang bisa menegosiasikan kedamaian antara roh dan tubuh manusia.
Ketcat dibagi dua: ketcat simaeru, roh orang yang mati wajar yang bisa membawa berkah; dan ketcat sikatai, roh orang yang mati tidak wajar, seperti karena bunuh diri atau kecelakaan, yang diyakini bisa mengganggu orang hidup. Mereka dikuburkan terpisah, dan tempat kejadian harus dibersihkan lewat ritual pasibitbit agar ketcat tak gentayangan.
“Setiap kejadian di dunia nyata ada sebabnya di dunia roh,” ujar Ubbek Kerei, 71 tahun, Sikerei tua yang masih aktif di Matotonan. Dalam pemahaman Sabulungan, pelanggaran terhadap alam—seperti membuka ladang tanpa izin roh hutan—dapat mengundang bajou, sejenis energi negatif yang bisa membuat sakit, konflik, bahkan kematian.
Untuk itu, setiap aktivitas penting di Matotonan—menebang pohon, menikah, melahirkan, hingga panen—selalu disertai upacara. “Agar dunia nyata dan dunia roh tetap seimbang,” kata Kilabo Siritoitet, 53 tahun, seorang Sikerei. Ia menunjukkan sebuah mantra nyanyian yang selalu dinyanyikan saat memarut daun-daun obat:
“Kawa-kawat sabulungan anai kerei kabeita anai tagalai pameruk...
Ukkui sibara ka tibbalet, kap te kutetekak kabaraijat pameruk mai kerei, sinukat akenen.”
("Marilah Sabulungan, ada kesaktian di tangan kita, kita mau membuat pembersihan, mari kita bersama-sama memperbaiki dan membersihkan diri kami...")
Nyanyian itu bukan sekadar lirik, melainkan pengantar roh masuk ke dalam daun, menjadikannya obat.
Selain ritual, masyarakat Matotonan masih mengandalkan tumbuhan liar untuk pengobatan. Daun diparut, direbus, digosokkan ke tubuh, atau dimakan mentah. Proses ini sejalan dengan prinsip Sabulungan: alam menyediakan obat, asalkan digunakan dengan hormat dan izin.
Menurut Tulius (2000), pengobatan tradisional Mentawai sangat tergantung pada pengetahuan lokal tentang hutan. Setiap Sikerei memiliki "resep" rahasia yang diwariskan secara lisan. Dalam dunia yang makin tergerus modernitas, ilmu ini menjadi kekayaan langka.
Meski penduduk Matotonan secara administratif telah beragama, keyakinan kepada Arat Sabulungan tak mudah hilang. Bahkan Ali Umran, Kepala Desa Matotonan, pernah mengalami sendiri kekuatan roh. “Saat ritual kematian ayah saya, tiba-tiba saya tidak sadarkan diri, seperti dibawa roh,” katanya. Sejak itu, ia tak meragukan keberadaan dunia tak kasat mata.
Bagi masyarakat Mentawai, Arat bukan sekadar adat atau agama—melainkan sistem hidup. Ia mengatur hubungan antara manusia, alam, dan roh. Dalam uma, keluarga dan klan hidup mengikuti aturan Arat untuk menjaga keharmonisan dan keberlangsungan.
Kini, di tengah derasnya arus globalisasi dan tekanan eksternal, Arat Sabulungan tetap berdiri—meski goyah. Ia hidup di nyanyian Sikerei, di aroma daun-daun yang diremas, dan di tarian kaki yang menghentak papan rumah. Di sana, di tengah hutan Siberut yang masih sunyi, suara roh masih terdengar—dalam mantra, dalam daun, dalam napas terakhir tradisi yang bertahan.
(Khafid Mardiyansyah)