“Karena untuk bisa menghasilkan obat, dipasarkan, dan digunakan manusia itu butuh dananya nggak kecil, ratusan triliun. Makanya dipakai hak paten sekian tahun, hanya dia yang boleh memproduksi,” tuturnya.
Hal tersebut juga berarti bahwa perusahaan farmasi lain tidak boleh menjual obat tersebut tanpa izin dari perusahaan pengembangnya. Namun, setelah paten berakhir, perusahaan lain sudah mulai bisa mendistribusikan obat tersebut.
Ketika masa paten berakhir, perusahaan farmasi lain dapat mengajukan permohonan izin untuk memproduksi dan menjual versi generik dari senyawa asli.
“Jadi setelah masa patennya habis, perusahaan farmasi lain boleh memproduksi, dapat lisence dari si orang ini, bahan bakunya seperti ini. Jatoh lah dia ke generik,” katanya.
Selain itu, produsen obat generik harus membuktikan bahwa produknya mengandung bahan aktif yang sama dengan produk paten sebelumnya. Mereka harus memastikan bahwa obat generik mereka mempertahankan bentuk yang sama (cair, pil, kapsul, suntik, topikal), konsentrasi, dan dosis sebagai obat asli.
“Generik pun kemudian ada yang bermerek. Ada beberapa perusahaan dapat lisence, produksi, kan harus dibedain dong namanya,” tutur Noffendri
“Makanya dia kasih nama sendiri-sendiri berdasarkan nama perusahannya. Makanya dia namanya obat generik bermerek (Kandungannya) ya sama,” katanya.
(Leonardus Selwyn)