ISTILAH burnout mulai semakin populer semenjak era pandemi Covid-19. Banyak orang mengalami fenomena satu ini, dikarenakan situasi pandemi yang mencekam, tidak bisa keluar rumah, tak bisa bertemu orang lain, namun ditambah dengan beban pekerjaan yang tak berkurang.
Secara harfiah, di tahun 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan mengklasifikasikan burnout sebagai sindrom yang bermula dari fenomena pekerjaan. Menurut WHO, burnout merupakan kondisi suatu sindrom (bukan diagnosis medis) yang disebabkan oleh “stres kronis di tempat kerja yang belum berhasil dikelola.
Dalam konteks ini, faktor eksternal begitu berpengaruh. Misalnya faktor disfungsi di tempat kerja, merupakan penyebab utama terjadinya burnout pada seseorang.
Burnout bisa memengaruhi kondisi mental, fisik, dan emosional orang yang mengalaminya. Perasaan kelelahan biasanya terjadi saat kita kewalahan dalam bekerja dan merasa seolah-olah tidak mampu lagi menghadapi kerasnya pekerjaan sehari-hari.
Burnout sendiri diketahui memiliki lima step atau tahapannya masing-masing. Sebab burnout bukanlah perasaan yang timbul secara tiba-tiba. Sebaliknya, pikiran, perasaan, dan tindakan seseorang berkembang melalui serangkaian tahapan.
Tahap-tahap awal mungkin tidak terlalu terasa, namun pada akhirnya dapat mengarah pada fase kebiasaan yang menyulitkan diri sendiri dalam menjalankan tugas.