KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) menggunakan bakteri wolbachia sebagai metode untuk pengendalian penularan demam berdarah dengue (DBD). Teknologi ini pada prinsipnya memanfaatkan bakteri alami Wolbachia yang banyak ditemukan pada 60 persen serangga.
Bakteri itu selanjutnya dimasukkan dalam nyamuk aedes aegypti, hingga menetas dan menghasilkan nyamuk aedes aegypti berwolbachia. Nantinya populasi aedes aegypti berkurang dan berganti menjadi nyamuk aedes aegypti berwolbachia.
Seseorang yang digigit nyamuk nyamuk aedes aegypti berwolbachia tidak akan menularkan virus demam berdarah kepada manusia. Sebab, perkembangan virus dengue tersebut berhasil dihambat oleh bakteri wolbachia.
Metode wolbachia yang sudah diimplementasikan di Yogyakarta sejak 10 tahun terakhir ini ternyata berdampak pada masyarakat, khususnya untuk kasus dengue. Pengajar dan peneliti Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof dr Adi Utarini, M.Sc, MPH, Ph.D mengatakan setelah nyamuk aedes aegypti wolbachia dilepas di Yogyakarta ternyata memberikan hasil yang signifikan.
"Kejadian danguenya (Yogyakarta) lebih rendah 77 persen dan angka rawat inap turun 86 persen, hasil terbaru fogging bisa berkurang sebesar 83 persen," ujarnya dalam webinar bertajuk 'Mengatasi DBD dengan Wolbachia', Jumat (24/11/2023).
Tak hanya itu, Prof Uut mengatakan metode wolbachia ini memangkas biaya rawat inap menggunakan BPJS.
"Dengan turun 86 persen kasus dengue yang dirawat itu maka bisa melihatnya dari sisi penghematan BPJS rawat inap. Kami mengingat sekitar 2017 di satu kabupaten bisa sampai Rp8-9 miliar untuk dengue, ini sebuah potensi penghematan yang besar," katanya.
Lebih lanjut Prof Uut menyebut penghematan juga terjadi pada anggaran fogging yang semula 200 kali, kini hanya sembilan kali saja.
"Dinkes Jogja bilang, penghematannya (fogging) sekitar Rp200 juta. Uangnya kemudian bisa direlokasi untuk melakukan kegiatan berbeda, itu di skala kecil," katanya.
(Leonardus Selwyn)