YOGYAKARTA merupakan kota yang masih mempertahankan kebudayaan Kesultanan Yogyakarta dan berperan penting dalam sejarah dan budaya Jawa. Daerah berjuluk Kota Pelajar ini ini juga dikenal sebagai pusat seni dan kebudayaan di Indonesia.
Misalnya Keraton Yogyakarta dan Tugu Jogja, yang merupakan salah satu pusat budaya yang penting.
Di sini, pengunjung dapat menemukan kerajinan tradisional, pertunjukan wayang kulit, tarian, dan seni lainnya.
Selain itu Jogja merupakan destinasi pariwisata dan kuliner yang populer di Indonesia, termasuk Candi Borobudur dan Candi Prambanan yang masuk situs warisan dunia UNESCO, dan sebagainya.
Lantas, bagaimana sejarah berdirinya Tugu Jogja, yang menjadi salah satu ikon kota bersejarah ini?
Tugu Yogyakarta atau Tugu Jogja, juga dikenal sebagai Tugu Pal Putih atau Tugu Golong Gilig, merupakan monumen bersejarah dan merupakan simbolik Kota Jogja.
Monumen ini telah berusia 3 abad, yang terletak persis di tengah perempatan Jalan Pangeran Mangkubumi, Jalan Jendral Soedirman, Jalan A.M Sangaji, dan Jalan Diponegoro.
(Foto: Instagram/@ieu_iyant)
Sri Sultan Hamengku Buwono I, adalah sosok yang mendirikan tugu ini pada tahun 1755, sekaligus tokoh yang mendirikan Keraton Yogyakarta.
Mengutip laman Jogja Aja, bangunan tersebut memiliki makna simbolis yang mengandung nilai semangat persatuan rakyat dan penguasa untuk melawan penjajah, serta bersifat magis karena menghubungkan Laut Selatan, Keraton Yogyakarta, dan Gunung Merapi.
Tugu ini dijadikan sebagai batas utara Kota Jogja dan merupakan salah satu landmark yang menakjubkan, serta menjadi salah satu destinasi wisata populer di Yogyakarta.
Tugu ini memiliki bentuk gilig atau silinder dan pada bagian puncaknya berbentuk golong atau bulat, karena itulah disebut dengan istilah Tugu Golong-Gilig dan bermakna semangat persatuan.
Biasanya, tugu tersebut dijadikan sebagai gambaran arah, ketika Sri Sultan Hamengku Buwono I hendak melakukan meditasi yang menghadap puncak Gunung Merapi.
Dahulu, tinggi Tugu ini mencapai 25 meter. Namun, akibat gempa bumi dahsyat pada 10 Juni 1867, terjadilah perubahan yang signifikan, bahkan runtuh.
Pasalnya, pada tahun 1889 pemerintah Belanda melakukan renovasi, yang mengubah bentuk bangunan menjadi persegi dengan hiasan seperti prasasti di setiap sisinya. Sehingga, bentuk asli Tugu yang awalnya bulat berubah menjadi kerucut yang runcing.
Sejak saat itu, Tugu ini dikenal sebagai De White Paal atau Tugu Pal Putih, dengan tinggi mencapai 15 meter, dan lebih pendek 10 meter dari bentuk sebelumnya.
Meskipun pihak Belanda mencoba memanfaatkan proses pembangunan tugu ini untuk menghilangkan rasa persatuan antara rakyat dan raja, namun upaya tersebut gagal.
Tugu ini terdiri dari empat bentuk fisik, yaitu kotak berundak pada bagian bawah sebagai landasan, kotak dengan prasasti pada setiap sisi, piramid tumpul dengan ornamen yang menempel pada setiap sisinya, dan puncak tugu yang berbentuk kerucut ulir.
Bentuk-bentuk tersebut dipadukan dengan ornamen-ornamen yang memuat simbol-simbol Jawa, seperti tangan atau Hasta Karya, anak panah, daun waru, daun loto, daun teratai, janget kinatelon, praba, bintang sudut enam, deretan titik atau ceceg, wajik, bentuk air tetes, dan setiliran.
Selain itu, terdapat juga tulisan berbahasa Jawa yang terletak di keempat sisi tugu. Serta warna yang diaplikasikan pada tugu merupakan campuran antara cokelat hitam dan warna emas yang mendominasi puncak Tugu Yogyakarta.
Oleh karenanya, tugu ini terbentuk dari gabungan balok, prisma, dan untiran yang menyerupai kuncup. Serta, kehadiran Tugu Jogja ini juga memengaruhi pada kultur dan budaya, terutama dalam aspek pariwisata dan kuliner.
(Rizka Diputra)