PERANG Dayak Desa yang terjadi di Kalimantan pada 1944 hingga 1945, merupakan pertempuran antara masyarakat Dayak melawan pasukan Jepang. Perang ini dipicu oleh sikap kezaliman Jepang atas masyarakat Tanah Dayak.
Menurut riwayat, bibit perang sudah muncul sejak masa awal pendudukan Jepang. Saat itu, ada dua perusahaan Jepang masuk ke Kalimantan Barat; Nomura yang menguasai pertambangan dan Sumitomo perusahaan perkayuan.
Jepang menerapkan sistem kerja paksa atau romusha untuk dua perusahaan itu sehingga banyak pekerja warga setempat meninggal kelelahan.
Tidak hanya itu, pada 1943, pasukan Jepang juga banyak menangkap dan menculik sultan-sultan di Kalimantan Barat, sehingga membuat masyarakat Dayak sangat membenci pasukan Jepang.
Pada 13 Mei 1945, mandor Jepang bernama Osaki berniat untuk menikahi anak perempuan dari seorang tokoh masyarakat Dayak Desa bernama Pang Linggan. tentu saja Pang Linggan menolak. Di sisi lain, Osaki yang marah berniat untuk memancung kepala Pang Linggan.
Warga Dayak
Singkat cerita, sejak saat itu banyak terjadi pergolakan kecil antara pihak Jepang dan masyarakat Dayak. Hingga pada akhirnya, dicapailah sebuah kesepakatan antara para tokoh masyarakat Dayak untuk menyerang Osaki.
Kemudian digelarlah mangkok merah, upacara adat Dayak untuk menyerukan perang sekaligus ikrar siap menumpahkan darah untuk membela tanah dan martabatnya.
BACA JUGA:
Beredarlah mangkok merah yang menjadi tanda untuk melawan Jepang. Ribuan rakyat dari Suku Dayak di beberapa daerah pun berkumpul dan bersiap untuk melawan Jepang.
Pertempuran mulai pecah di perusahaan kayu. Jepang yang dipersenjatai teknologi mutakhir kala itu dibuat kalang kabut oleh masyarakat Dayak dari Ketapang hingga Sekadau.
Setelah itu, pertempuran lain pecah di Umbuan Kunyil. Pada pertempuran ini, masyarakat Dayak berhasil membunuh Letnan Nagatani, salah satu pimpinan paling cakap dan tangguh pasukan Jepang di sana.
Pada 17 Juni 1945, masyarakat Dayak bertekad untuk mempertahankan wilayah Meliau mati-matian. Pertempuran pun pecah di wilayah ini. Naas, tiga pimpinan Suku Dayak, yakni Pang Suma. Apae, dan Panglima Beli harus gugur.
Hal ini membuat Meliau dikuasai oleh Jepang. Namun beruntungnya, pasukan Dayak yang masih selamat berhasil meloloskan diri.
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 kala itu nyatanya tidak langsung sampai hingga pelosok Kalimantan. Tak ayal, di awal kemerdekaan ini masyarakat Dayak masih berupaya mengusir penjajah Jepang melalui pertempuran.

Adapun pada masa itu, Angkatan Perang Majang (APMD) kembali diaktifkan. Dalam mengusir penjajah, APMD bahkan tidak hanya menyerang Jepang, namun juga memerangi Belanda.
Demikian kisah konflik Suku Dayak pedalaman dengan tentara Jepang.
(Salman Mardira)