Sementara pada sejarah versi kedua tidak jauh berbeda dari yang pertama. Hanya saja, upacara Rebo Wekasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Pleret.
Upacara adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600, di masa pemerintahan Mataram terjangkit wabah penyakit atau pagebluk. Kemudian diadakan ritual untuk menolak bala wabah penyakit ini dan Rebo Wekasan ini diadakan sebagai wujud doa.
Sementara dalam sejarah versi ketiga, Kiai Muhammad Faqih dari Desa Wonokromo yang juga disebut Kiai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat welit atau atap dari rapak (daun tebu). Masyarakat mendatangi Kiai Welit supaya membuatkan tolak bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab.
Rajah ini kemudian dimasukkan ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang bersangkutan selamat. Adat tersebut kemudian dinamai malam Rebo Wekasan.
Sebelum proses Rebo Wekasan dilakuka, biasanya terdapat pasar malam di Lapangan Desa Wonokromo yang diadakan seminggu sebelum malam puncak Rabu Pungkasan. Upacara tersebut tersusun atas sambutan takmir masjid, pembacaan sholawat, dan doa bersama yang dipimpin salah seorang sesepuh desa Wonokromo.
Setelah doa bersama lemper raksasa yaitu sebuah tiruan lemper yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diameter 80 cm dan gunungan tersebut diarak dari Masjid Karanganom hingga ke Balai Desa Wonokromo. Lemper dan Gunungan tersebut, diarak oleh beberapa pasukan atau bregodo (dalam bahasa Jawa), bregodo Sembrani, bregodo Abang, bregodo Umbul-umbul bregodo Gamelan dan bregodo Mburi.