Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mengenang Perjuangan Dokter Soebandi Dalam Sejarah Kemerdekaan NKRI

Dyah Ratna Meta Novia , Jurnalis-Rabu, 16 Agustus 2023 |11:28 WIB
 Mengenang Perjuangan Dokter Soebandi Dalam Sejarah Kemerdekaan NKRI
Perjuangan Dokter Soebandhi. (Foto: Ist)
A
A
A

Pada 1945 setelah Jepang kalah perang, PETA dibubarkan Soebandi beralih menjadi dokter tentara di Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang bertugas di berbagai rumah sakit, mulai Probolinggo, Lumajang dan Malang.

Rumah Sakit Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Jember yang sekarang bernama RS. Baladhika Husada yang didirikan tahun 1946 menunjuk dr. Soebandi, sebagai kepala rumah sakit pertama kalinya.

Karena di masa itu seorang tentara yang sekaligus dokter amat langka sehingga tenaga dr. Soebandi sangat dibutuhkan tidak hanya di kawasan Jawa Timur tetapi juga dilibatkan sampai ke Jawa Barat untuk bergabung dengan kesatuan lain ketika melakukan peperangan dengan pasukan sekutu.

Setelah bertugas di berbagai kesatuan pada Desember 1948 Letkol dr. RM, Soebandi, ditugaskan sebagai wakil komandan Brigade III Damarwulan mendampingi komandan Letkol. Mochamad Sroedji. Selain sebagai wakil komandan Soebandi merangkap sebagai Residen Militer Besuki dan dokter militer.

Sesuai hasil perjanjian renville semua pasukan Brigade III Damarwulan serta kesatuan lain di wilayah Besuki hijrah ke Blitar. Namun kemudian Belanda mengingkari isi perjanjian Renville bahkan melakukan Agresi Militernya ke dua dengan melakukan serangan besar-besaran. Tanggal 29 Desember 1948 atas perintah Panglima Besar Jenderal Soedirman, pasukan yang ada di Blitar diminta untuk kembali ke daerah asal dengan melakukan aksi wingate dan bergerilya melawan Belanda.

Brigade III Damarwulan kembali ke wilayah Besuki menuju Socopangepok di lereng Argopuro untuk membangun kekuatan baru. Sepanjang perjalanan sering terjadi kontak senjata, karena minimnya amunisi dan persenjataan maka pasukan Damarwulan kewalahan dan banyak menjadi korban.

Dini hari tanggal 8 Pebruari 1949 pasukan Damarwulan yang berjumlah kurang dari 100 orang kelelahan dan kelaparan sehingga di pagi buta istirahat di Desa Karang Kedawung, Mumbulsari, Jember yang berada di tepi hutan. Ternyata keberadaan rombongan ini diketahui oleh mata-mata dan dilaporkan kepada induk militer Belanda di Jember.

Ketika istirahat dan tengah menikmati sarapan pagi suguhan penduduk desa, pasukan Belanda dari Kompi IV Batalyon XXIII KNIL dibawah komando Lettu F.G Schelten melakukan penyergapan dengan sistematis. Mendapatkan serangan mendadak pasukan Damarwulan mempertahankan diri dan mundur ke arah hutan.

Dokter Soebandi berhasil lolos tetapi begitu melihat Sroedji tertembak jatuh dia keluar dari tempat berlindung lalu bangkit dan berlari menuju tubuh sahabat sekaligus komandannya. Dengan penuh emosi Sroedji yang terkapar bermandikan darah dibopong diselamatkan.

Saat memapah itulah, Letkol dr. Soebandi diberondong senapan oleh Pratu Josep Kesek dari KNIL hingga jatuh tersungkur dan gugur berdampingan. Selain keduanya, belasan pasukan serta warga desa ikut jadi korban.

Jasad dr. Soebandi, oleh masyarakat desa di makam di lokasi kejadian tetapi karena banyaknya korban baru diketemukan dan teridentifikasi pada 23 Maret 1950.

Atas prakarsa masyarakat Desa Karang Kedawung sekitar tahun 1980an di lokasi pertempuran didirikan monumen untuk mengenang para pahlawan yang gugur di sana.

Seluruh hidup dr. Soebandi diberikan untuk republik. Ia meninggalkan kemapanan demi kemerdekaan dari tangan penjajah. Ia rela meninggalkan istri dan anak-anaknya untuk berjuang di medan tempur.

Dalam buku harian Rr. Soekesi, istri dr. Soebandi, sebelum gugur dari tempat bergerilya suaminya sempat mengirim surat terakhir yang dikirim melalui kurir rahasia yang berbunyi, “Jaga anak-anak dengan baik. Bila Tuhan menghendaki kita akan bersatu lagi.”

(Dyah Ratna Meta Novia)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement