Angin itu berputar-putar, semakin besar dan keras, hingga memporak porandakan kawasan tersebut, rumah-rumah hancur berserakan sehingga membuat penduduk setempat sangat ketakutan.
Tak hanya menghancurkan semua yang ada di kawasan tersebut, angin itu juga mematahkan awi yang merupakan sumber mata pencaharian, dan sekaligus selalu disembah-sembah oleh warga setempat.
Ulama yang tadinya pergi karena diusir oleh warga, kemudian kembali lagi dan membangun sebuah perkampungan baru. Selain itu ia juga mendirikan pesantren guna mengajarkan agama, agar hal-hal musyrik seperti penyembahan Awi Bitung tidak terjadi lagi.
Oleh karenanya untuk mengingat peristiwa tersebut, maka perkampungan itu dinamakan Rangkasbitung artinya bambu yang tadinya disembah oleh masyarakat kini sudah dipatahkan. Sehingga orang-orang kembali ke jalan yang benar dan hanya menyembah Allah SWT.
(Salman Mardira)