Menurut mitos pintu gua bisa terbuka sendiri dan bagi yang bisa melihat dari sisi gaib lokasinya gua ini mirip sebuah keraton yang indah.
Buto ijo sendiri berbentuk besar dan berkulit hijau serta memiliki taring gigi yang besar dan mata merah serta melotot. Mitosnya orang yang berani melakukan ritual di tempat ini harus berani mengikat kontrak gaib dengan tumbal tertentu seperti nyawa atau hal penting lainnya maka keinginanya untuk cepat kaya juga akan terwujud.
Namun yang datang ke lokasi gua ini untuk ritual umumnya mereka membawa pemandu ritual pesugihan sendiri yang dipercaya karena lokasi ini tidak ada juru kuncinya. Mereka pun melakukan ritual dengan perjanjian dengan penunggu buto ijo dengan membawa sesaji mulai kemenyan dan kembang tiga rupa.
“Gunung Wijil itu salah satu gunung yang kecil itu bagian dari anak Gunung Lawu yang bertempat di sini. Selain berada di sekitar hutan, gunung ini memiliki dua gua,” kata Nukdiyono.
“Orang yang pertama kali memberikan nama Gunung Wijil ini adalah erang Pramijil. Eyang Pramijil ini adalah kerabat dari Joko Tingkir. Jadi kisaran Wijil ini ditemukan pada waktu kerajaan Pajang,” katanya.
“Kalau pendapat saya terkait pesugihan di sini itu nggak ada. Adanya orang ritual permintaan, misalnya orang cari derajat diangkat atau kewibawaan atau pelarisan buat dagang di makam Gunung Wijil ini,” kata Juru Kunci Gunung Wijil.
“Kalau mitos tentang pesugihan buto ijo itu sebenarnya nggak ada, setahu. Saya di sini kurang lebihnya 25 tahun. Soal peziarah ada yang datang dari Lampung, Jakarta, Jawa Timur, Jogja, Purwodadi. Biasanya mereka mencari pelarisan, derajat dan kewibawaan,” katanya.
Saat ini lokasi Gunung Wijil sudah mulai diubah pembangunannya oleh pemerintah desa setempat. Sebagian lokasi di bagian bawah bukit mulai dibangun sebagai tempat spot wisata, selfi, pemberdayaan masyarakat dan peningkatan perekonomian warga sekitar. Namun karena masih dalam pandemi covid-19 sehingga lokasi ini masih ditutup sementara.
(Kurniawati Hasjanah)