Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Kurayakan Ulang Tahunmu dengan Akad

Kurayakan Ulang Tahunmu dengan Akad
Susi Fatimah dan Shulhan
A
A
A

Aku tengah berada di ruang wawancara Beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Beasiswa Indonesia Timur (BIT), menjalani tes pamungkas dari sejumlah rangkaian tes yang tentu saja tak mudah. Aku dikelilingi 4 pewawancara; seorang pakar politik sesuai background akademikku, psikolog, TNI, dan perwakilan pemerintah Maluku. Kami berdialog dan berdebat cukup sengit mengenai NKRI yang dirongrongrong radikalisme juga tentang kutub liberal di Indonesia.

Di tengah semua ketegangan itu, tetiba aku dikejutkan dengan pertanyaan dari psikolog perempuan yang sedari awal sudah membaca mataku. “Apa kesedihan terberatmu?” Sontak kujawab, aku kehilangan kakek dan teman-teman nonmuslimku saat Ambon bergejolak konflik sosial dalam rentang 2000-2004 silam.

Katanya lagi, “Tapi, saya melihat ada beban yang lebih dari itu”. Jawabku sedikit pelan, aku terpisah jauh dari orangtua lantaran harus melanjutkan studi ke Jawa Barat sejak usia 11 tahun. “Ah, tidak. Mata kamu masih menyimpan duka. Saya yakin ada yang lebih berat lagi,” desak psikolog itu.

Dengan nada berat dan sedikit emosional, aku menjawab datar; kesedihan terdalam dan terberat dalam hidupku hingga saat ini adalah (sedikit menjeda bicara), adalah putus cinta. “Hahahahahaha” sontak pecah tawa dalam ruangan dan mencairkan suasana. Tapi, baik aku maupun sang spikolog, tetap berwajah datar. “Sudah, jangan hiraukan perempuan itu. No heart feelings,” saran pewawancara lainnya.

Lalu aku buru-buru menyambarnya; selagi ada sedikit cinta di hati, aku takkan mengatakan TIDAK (aku tahu, saran itu hanya jebakan psikologis). Alhasil, saat pengumunan hasil tes seleksi LPDP, aku berhasil menyabet beasiswa LPDP BIT dengan negara tujuan studi Amerika Serikat. Seketika dalam pikiranku hanya ada satu nasihat, “Tak ada jalan lain untuk meraih sukses, kecuali Kerja Keras”. Dan dialah pemilik nasihat itu, yang saban hari selalu bilang begitu, disaat aku mulai bosan dengan kuliah.

Kini beasiswa sudah di tangan, dan orangtuaku meminta segera datangkan calon mantu. Mulai dari teman, kawan kerja, sampai para dosen yang mengenalku, sibuk menyuguhkan jodoh. Lalu datang pesan WA dari seorang dosen perempuan; Shulhan, Bismillah. Lamar Susi.” Hah, aku kaget. Bertanya kenapa sang dosen menyarankan Susi Fatimah, perempuan yang menjadi tambatan hatiku dulu, padahal ia masih berumah tangga setahuku. Lalu dosen itu menjelaskan, Susi sudah bercerai. Pernikahannya dulu tak harmonis, terlalu banyak derita yang ia terima dari lelaki yang mendahuluimu dulu. Dan cerita tentangnya, tentang doa-doanya, tentang doa orangtuanya di depan Ka’bah, juga tentang harapan akan satu nama; Shulhan Rumaru.

Aku tak lantas menerima keadaan itu. Beban di masa lalu masih terngiang. Lalu kuberanikan diri, bertanya pada orangtua tentang siapa yang layak. Tak lupa kuselipkan namanya, sekadar ingin memastikan bahwa pilihanku yang sekarang lebih baik dari dirinya yang datang dari masa lalu. Apalagi, ia juga sudah punya seorang anak lelaki yang Juni ini akan genap 6 tahun. Tapi aku tersentak akhirnya, kata ibuku, “Ada Susi dalam doa-doa Mama.” Bapak yang juga baru kembali dari tanah Suci Makkah pun bilang; “Bapak yakin Susi akan menjadi yang terbaik buatmu. Sebab itu, foto-foto Susi yang kamu simpan di lemari rumah sejak kuliah dulu, tak bergeser seincipun.” Allahu Akbar, hatiku basah, lebih deras dari hujan kapanpun. Pikiranku penuh tanya, skenario apa ini ya Allah?

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement