'Cambuk' algoritmik
Tetap saja, banyak orang merasa terjebak dalam siklus—mereka bergantung pada kerja lembur untuk memenuhi kebutuhan dan membayar tagihan mereka. Mereka terjebak dalam sistem yang memberi insentif kepada mereka untuk bekerja selama berjam-jam, atau untuk bekerja sepanjang malam jika klien mereka tinggal di zona waktu lain.
Contohnya, ini sering terjadi pada pekerja 'gig economy' di Asia Tenggara dan Afrika, yang disewa oleh perusahaan atau pengusaha di AS, Inggris atau Eropa melalui platform freelancer untuk melakukan hal-hal seperti coding, menulis blog, membuat situs web, atau mengelola media sosial.
Baca juga: Tak Perlu Baru, Coba The Hook Gaya Bercinta Klasik yang Bisa Buat Pria Terjepit
Penelitian baru-baru ini yang dipimpin oleh Alex J Wood, dari Oxford Internet Institute, mengungkap bahwa algoritma yang memberikan tugas kepada para pekerja ini adalah pendorong kuat untuk kerja lembur yang terus-terusan.
Pada dasarnya, semakin tinggi peringkat Anda di platform ini, semakin besar peluang Anda untuk dipekerjakan. Akan tetapi untuk mendapatkan ulasan yang bagus ini, para pekerja harus mengakomodasi semua yang diinginkan klien mereka, dengan sedikit ruang untuk negosiasi demi mendapatkan kondisi yang lebih baik.

"Mereka harus tersedia untuk berkomunikasi kapanpun mereka diinginkan. Jika klien memberi tenggat yang sangat singkat, mereka harus menerimanya. Jika tidak, mereka akan diberi peringkat buruk," kata Wood dalam sebuah wawancara.
Jika si pekerja tidak berada di peringkat teratas, tekanan ini meningkat. Beberapa mencoba untuk menarik lebih banyak pekerjaan dengan memasang upah yang sangat rendah, memaksa mereka untuk bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang untuk sedikit uang.
Baca juga: 5 Makanan Termahal di Dunia, Salah Satunya Makanan Asli Indonesia
Selain itu, sebagian besar dari para pekerja ini juga menginvestasikan sejumlah besar tenaga kerja tidak dibayar pada pekerjaan admin seperti menyiapkan profil, menawar untuk pekerjaan di platform, dan mempelajari keterampilan untuk membuat profil yang lebih menarik. Semua pekerjaan ini menambah rutinitas yang sangat panjang dan melelahkan.
Seperti dikatakan seorang responden dalam penelitian Wood berkata, "Saya bangkrut, ini ada orang yang siap memberi saya uang, jadi kenapa saya tidak mau kerja 18 jam sehari?"
Pola-pola ini tampaknya ditemukan di banyak bidang gig economy. Beberapa laporan di AS menyebutkan bahwa beberapa pengemudi yang bekerja untuk perusahaan berbagi-kendaraan mengemudi sampai 20 jam sehari untuk mengambil keuntungan dari lonjakan harga.
Dan di Inggris, Uber membatasi penggunaan terus-menerus aplikasinya oleh para pengemudi sampai 10 jam, setelah diminta oleh parlemen.
Baca juga: Lihat Gaya DJ Dinar Candy Liburan, Bikin yang Adem Jadi Hot!
Menurut Wood, "dampak yang paling jelas adalah berkurangnya waktu tidur," yang memperkuat lingkaran setan dari sedikit istirahat dan bekerja lembur.

"Orang-orang akan menjadi lebih produktif jika mereka tidak bekerja lembur. Tetapi cara menjalankan bisnisnya tidak mendukung seseorang memaksimalkan produktivitas itu karena mereka harus bekerja larut malam demi memenuhi tenggat waktu." Platform freelance telah dikritik karena mendorong gaya hidup tidak sehat seperti ini.
Penelitian Wood tidak menunjukkan berapa banyak dari pekerja 'gig economy' ini yang benar-benar bekerja untuk waktu yang sangat lama, dan ia menjelaskan bahwa kondisi kerja biasanya jauh lebih baik bagi para freelancer di Eropa, Inggris dan Amerika Serikat, yang memiliki keterampilan lebih khusus dan jauh lebih banyak kekuatan tawar-menawar.
Namun demikian, di negara-negara berkembang, ada tanda-tanda bahwa siklus kerja berlebihan ini telah mendarah daging. Lebih dari separuh pekerja yang diwawancarai oleh Wood dan timnya mengatakan bahwa mereka harus bekerja dengan kecepatan sangat tinggi, 60% bekerja dengan tenggat yang ketat, dan 22% mengalami sakit fisik akibat pekerjaan mereka.