Nangnang sendiri merupakan kuli kopra milik Manuel Saeppu yang masih kerabat dekatnya. Kelapa yang diolah sebanyak 100 batang. Buah kelapa yang kering dengan jumlah batang sebanyak itu bisa diolah selama seminggu. Untuk mengolah kelapa sebanyak itu, kata Nangnang, membutuhkan 2 tungku pembakar (salaian) dengan masing-masing berisi 750 kilogram kelapa.
“Kopra yang dihasilkan dari 2 salaian itu sebanyak 1,5 ton kopra, jika harga jual Rp5.500 per kilogram maka hasil yang didapat sebanyak Rp8.250.000,” kata Nangnang.
Hasil penjualan kelapa tersebut kemudian dibagi dua dengan pemilik kelapa. Selain Nangnang, Kamilus Salimu, warga Taileleu yang memiliki 700 batang kelapa tetap mengolah kopra walau harganya anjlok sebab semua biaya kebutuhan keluarganya berasal dari hasil penjualan kopra.
(Baca Juga:Agar Tak Celaka, Wisatawan Diimbau Tak Mandi di Laut Pantai Selatan)
Kamilus mengaku sanggup mengolah kopra sebanyak 300 kilogram sehari. Ia sendiri rutin mengolah kopra tiap minggu. Kopra tersebut kemudian dijual kepada beberapa pedagang penampung yang ada di kampungnya.
Selain kopra ada warga yang memanfaatkan tempurung kelapa untuk membuat arang, seperti yang dilakukan oleh Manuel Salimu, mantan Komisioner KPU Mentawai. Dia sudah merintis usahanya ini sejak Oktober 2016 lalu dan sudah menghasilkan arang batok kelapa ini 50 ton.
“Kita memanfaatkan peluang yang ada, Taileleu ini penghasil kelapa terbanyak di Siberut, setiap warga panen kelapa pasti banyak batok-batok kelapa yang menjadi sampah, dari situ kita olah batok kelapa ini menjadi arang,” tuturnya.
(Baca Juga:Mencari Ketenangan di Curug Mandala Subang yang Memukau)
Untuk membantu masyarakat apalagi pada saat suami warga ini pergi ke ladang mengolah kelapa atau mencari ikan, para ibu-ibu diberikan peluang untuk menjual tempurung basah kepadanya.
“Kita juga menampung tempurung basah dari masyarakat, biasanya ibu-ibu itu menjual tempurung kepada kita, satu karung kita beli senilai Rp10 ribu. Dengan adanya penampungan ini kita sudah ikut membantu kebutuhan rumah tangga mereka untuk membeli kebutuhan dapur,” katanya.
Awal merintis usaha ini, harga jual arang kelapa saat itu masih Rp3 ribu per kilogram namun setelah dilihat ternyata arang kelapa dari Mentawai bagus akhirnya naik 1 kilogram senilai Rp5 ribu per kilogram. Usaha ini diakui Kamilus memang masih baru di Mentawai. Masyarakat memanfaatkan sampah kemudian punya nilai jual. Arang kelapa ini bisa digunakan sebagai briket. Arang kelapa ini merupakan bahan setengah jadi.
Saat ini Manuel memiliki 30 drum tempat mengasapi tempurung, satu drum dapat menghasilkan 40 kilogram arang kelapa. Untuk mengasapinya Manuel ditemani satu orang untuk menjaga agar kelapa tidak terbakar.
“Kalau kita asapi kelapa ini menjadi arang memakan waktu satu hari, dimulai pukul 06.00 WIB sampai 18.00 WIB, kalau masih ada yang belum terasapi akan dilanjutkan besok. Sekarang ini kan ada dua drum itu sisa pembakaran kemarin,” ujarnya.
Sebelum dimasukkan dalam karung terlebih dahulu disaring seperti menyaring pasir, abunya akan turun dan arangnya akan diambil. “Yang penting arang sudah jadi jangan sampai terkena hujan atau basah nanti tidak laku,” katanya.
Manuel mengaku belum maksimal membawa arang tersebut lantaran belum memiliki kapal angkut dan jalur Trans Mentawai belum selesai yang memudahkan aksesnya ke pelabuhan. Biasanya mengolah arang batok kelapa ini selama dua minggu dengan penghasilan 10 ton dengan harga 1 kilogram Rp5 ribu.
“Setelah ada 10 ton baru kita jual ke Padang dengan menumpang kapal dagang milik warga di sini, kita belum ada kapal jadi kita numpang ke kapal pedagang untuk membawanya ke Padang, nanti biaya buruh dan angkutnya kita bayar,” tambahnya.
Di Desa Pasakiat Taileleu ini masuk dalam Kecamatan Siberut Barat Daya dengan pusat kecamatan di Peipei satu jam perjalanan dengan kendaraan roda dua. Daerah ini sudah ada Puskemas, Kantor Camat, SMA, SD dan SMP. Selain itu ada dua pelabuhan kayu tempat bersandar kapal dagang dan perahu tempel. Namun kalau berkunjung ke daerah tersebut harus melihat cuaca.
(Utami Evi Riyani)