Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Batik Rifaiyah, Wastra Nusantara dengan Akulturasi Corak Eropa, China dan Spirit Islam

Batik Rifaiyah, Wastra Nusantara dengan Akulturasi Corak Eropa, China dan Spirit Islam
Batik Rifaiyah (Foto: Wiranurmansyah)
A
A
A

"AKULTURASI sentuhan warna dan corak Eropa dan China membuat batik rifaiyah ini merupakan batik multikultur dengan masuknya spirit Islam," Pernyataan itu terlontar dari Miftakhutin (40), perempuan perajin batik tulis di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang, Jawa Tengah.

Kala berdiskusi dengan sejumlah wartawan pada kegiatan kunjungan media yang difasilitasi Kementerian Pariwisata (Kemenpar) di galeri, "workshop" sekaligus sentra batik rifaiyah di Jalan Mataram III RT02/RW02, Kalipucang Wetan, Kabupaten Batang, pada Rabu (2/5), menurut Utin -- panggilan karib Miftakhutin -- ia bercerita panjang lebar mengenai sejarah batik tulis khas daerah itu, yang hingga kini masih bertahan.

Ikhwal batik multikultur, peneliti batik yang juga teman Utin, yakni William Kwan menyebut bahwa batik rifaiyah dikenal pula dengan sebutan "batik tiga negeri".

 Baca juga: Bully Berakhir Maut, Ini 3 Peristiwa Balas Dendam Korban Bullying  

Tiga negeri itu yakni dari daerah Lasem terkenal dengan warna merah, Pekalongan dengan warna biru, dan Solo dengan warna coklat.

Dalam laman infobatik.id/batik-tiga-negeri-khas-batang/, William Kwan menyatakan "batik tiga negeri" diberikan jika warna merah, biru dan coklat dibubuhkan bersamaan pada sehelai kain batik.

Meski masih bertahan, Utin mengutarakan sebuah kekhawatiran yang serius, yakni bagaimana masa depan batik rifaiyah jika perajinnya kian berkurang. Pendiri Kelompok Usaha Bersama (KUB) Tunas Cahaya, yang kini posisinya sebagai penasihat itu mengungkap data saat ini perajin batik rifaiyah itu rata-rata di atas 35 tahun.

Ada lebih dari 100 pengrajin, namun yang aktif sejumlah 87 orang. "Anak-anak muda perempuan tidak lagi tertarik untuk membatik, ada yang berusia 18 tahun satu orang saja," kata Utin, generasi kelima dari keluarganya yang meneruskan tradisi membatik hingga saat ini.

Perempuan muda setempat saat ini maunya bekerja dengan hasil instan sehingga membatik dengan menjaga warisan tradisi itu hanya menjadi pilihan terakhir.

Itu sebabnya regenerasi untuk menjaga dan melestarikannya mengalami ancaman karena tidak mustahil dengan berkurangnya peminat di kalangan muda akan membuat batik rifaiyah terancam hilang dan bahkan punah.

"Saya berinisiatif untuk membuka pelatihan gratis, semua bahan dan perlengkapan disediakan, tetapi peminatnya hanya dua orang saja," katanya.

Halaman:
      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement