"Belakangan ini, kita mulai sadar bahwa bahkan orang yang kelihatannya paling tenang, kuat di luar, belum tentu dia baik-baik saja di dalamnya," ungkap dr. Yuliana.
Ironisnya, akar penyakit ini sering kali bukan berasal dari faktor eksternal, melainkan dari emosi yang enggak pernah diberi ruang untuk keluar.
"Kadang kita pikir, memendam emosi itu bentuk dari kuat. Padahal tubuh kita menyimpan semuanya, diam-diam... Sampai akhirnya muncul dalam bentuk penyakit," ujarnya pada caption unggahan tersebut.
Penting untuk dipahami, menahan emosi bukanlah tanda kekuatan, melainkan bom waktu yang siap meledak. Sama halnya dengan anak kecil yang menangis sebagai bentuk komunikasi emosi karena kesulitan mengungkapkannya dengan kata-kata, orang dewasa pun butuh saluran untuk melampiaskan perasaannya.
(Kurniasih Miftakhul Jannah)