Media sosial mendobrak paradigma seseorang dalam meraih kepopuleran. Jika sebelumnya populer harus diraih dengan cara menyelesaikan tingkat pendidikan, memperoleh gelar profesional, hingga menekuni bidang hingga bertahun-tahun, kini semua bisa diperoleh dalam satu hari.
Bermodal sebutan viral, maka seseorang bisa dengan sangat mudah mendapat kepopuleran. Tidak hanya itu, uang yang melimpah bisa membuat anak muda tergiur.
Alhasil, mereka berlomba lomba untuk mencapai ketenaran tersebut. Media sosial juga memberikan keleluasaan kepada anak muda untuk mendapatkan independensi dan fleksibilitas.
Namun, kepopuleran dan kesuksesan tersebut datang dengan harga mahal. Pasalnya, kewarasan mental membuat anak muda menjadi tidak siap.
Hal ini diungkapkan Dr Sreystha Beppari, psikolog dari Applo Clinic, seperti dikutip times of India, Rabu (31/7/2024).
Mereka tidak siap secara emosional untuk menghadapi kritikan pedas oleh netizen. Rasa malu dan hinaan yang dialami konten kreatoor terkadang melampaui ambang batas mereka.
Mereka kerap berpikir pendek dan tidak rasional. Alih-alih menutup akun media sosial, mereka yang sudah tergantung akan membuat mereka terlalu terlibat.
Seorang konten kreator, kerap menjadi sasaran kemarahan yang tidak terkendali. Sementara penonton yang sudah muak, justeru melampiaskan rasa frustasi mereka dengan menggunakan komentar yang kasar, kejam, merendahkan, dan menghina.