Berdasarkan laporan The Guardian, meskipun bertahun-tahun telah diperingatkan bahwa virus corona jenis baru kemungkinan besar akan menyebabkan keadaan darurat kesehatan global, industri farmasi serta masyarakat pada umumnya tidak siap untuk pandemi covid-19.
GSK memimpin lima perusahaan teratas dengan perencanaan akses untuk menyediakan obat-obatan ke negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah.
Baca juga: Virus Nipah Diwaspadai Jadi Pandemi Baru, Gejalanya Bisa Sebabkan Koma
Resistensi antimikroba, munculnya bakteri super yang resistan terhadap obat, sebagian karena kurangnya antibiotik di negara berpenghasilan rendah juga menimbulkan risiko yang serius.
"Dalam hal resistensi antimikroba (AMR), kami memiliki antibiotik yang masih berfungsi, tetapi waktu hampir habis untuk mengembangkan penggantinya," kata Iyer.
"Tuberkulosis, yang dulunya kami pikir dapat diberantas, menyebar luas di beberapa komunitas karena jenis yang resistan terhadap berbagai obat," sambungnya.
Laporan yayasan memantau 20 perusahaan obat besar dan ketersediaan obat mereka untuk 82 penyakit di negara berpenghasilan rendah hingga menengah. Upaya perusahaan untuk mengembangkan obat baru terus berpusat pada beberapa penyakit, termasuk HIV/Aids, tuberkulosis, malaria, covid-19, dan kanker.
Baca juga: Prof Abdul Muthalib Pastikan Presiden Jokowi Disuntik Vaksin Sinovac
Produsen obat Inggris GSK kembali menduduki puncak indeks. Sementara perusahaan AS Pfizer masuk lima besar untuk pertama kalinya di belakang GSK, Novartis, dan Johnson & Johnson.
Novartis adalah perusahaan pertama yang mengembangkan pendekatan sistematis untuk memastikan produk menjangkau negara-negara miskin yang menghadapi lebih dari 80 persen beban penyakit global lebih cepat.
Perusahaan terkemuka lainnya adalah AstraZeneca, GSK, Johnson & Johnson, Merck Jerman, Pfizer, Sanofi, dan Takeda. GSK mengembangkan rencana akses untuk semua proyek setelah hasil uji klinis menengah positif.
(Hantoro)