Nasib menuturkan, kakeknya yang bernama Mbah Karyo Suwito dari Wonosari, Yogyakarta, memang menjadi penyuci keris di desanya. Sang kakek juga kerap dituakan oleh warga desa. Apakah ini ilmu tak langsung dari kakeknya?
"Tapi kakek saya pun nggak ngajarin. Jadi, ya, cuma tahu saja kakek penyuci keris, sudah. Enggak ada itu dia ngajar-ngajarin saya," ungkapnya tertawa.
Jadi, dapat dikatakan kalau ilmu Nasib datang dengan sendirinya. Mungkin, bisa dibilang berkah untuknya juga karena memiliki keahlian yang tak sembarang orang mau memilikinya.
Nasib menegaskan, jamasan itu bisa dilakukan siapa saja. Tapi, stigma 'keris ada isinya' yang akhirnya bikin takut orang untuk belajar. Padahal, semuanya biasa saja.
Bekerja begitu lama menjadi penyuci keris ternyata membuat Nasib bangga dengan dirinya. Sangat sederhana kebahagiaan yang dia dapatkan dari pekerjaan tersebut.
"Buat saya, menyuci keris itu tidak sepele, pekerjaan ini membuat saya bahagia. Sesederhana saya melihat keris yang awalnya berkarat, setelah saya mandikan, dia kembali seperti baru. Melihat itu, saya merasa bangga dengan apa yang telah saya lakukan," ungkapnya sedikit haru.
Matanya memerah, suaranya pun memberat. Dengan suara agak serak dia mengatakan, pekerjaan ini akan terus dia jalani sampai dia meninggal dunia. Hal itu didasari karena begitu cintanya Nasib dengan kebudayaan keris ini dan tak ingin keris lenyap di makan zaman.
"Kalau waktunya saya pensiun, saya tetap akan mencintai keris. Caranya adalah dengan membuka sendiri praktik penyucian keris di luar Museum Pusaka. Saya ingin mengabadikan diri saya pada tradisi ini dan saya bangga melakukannya," katanya.