“Bicara pengawasan itu tidak cukup hanya organoleptik, dicium, dibaui, dan sebagainya. Kalau sumber keracunan berasal dari dapur yang tidak terlihat, bagaimana menilainya?” jelasnya.
Ia mencontohkan fenomena tersebut seperti membeli jajanan di pinggir jalan. “Waktu dicium aromanya enak, misalnya bakso. Tapi setelah makan, malah kena tipus. Artinya, tidak semua hal bisa dinilai kasat mata,” tambah dr. Tan.
Lebih jauh, dr. Tan mengaku prihatin jika membandingkan pelaksanaan program MBG di Indonesia dengan program serupa di negara lain. Menurutnya, meskipun sama-sama tidak diawasi langsung, sistem di luar negeri berjalan lebih baik karena disertai kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap SOP.
“Masalah utamanya adalah trust. Kalau SOP dilaksanakan dengan benar, masyarakat tentu akan percaya dan dengan senang hati menyerahkan anak-anaknya untuk mendapat asupan dari program MBG, yang mestinya menyumbang sepertiga kebutuhan kalori harian mereka,” pungkasnya.
(Rani Hardjanti)