JAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah kembali menuai sorotan. Belakangan, sejumlah kasus keracunan yang dialami para siswa penerima program tersebut menimbulkan kekhawatiran publik.
Dokter sekaligus Ahli Gizi Masyarakat, dr. Tan Shot Yen, M.Hum, menilai akar persoalan terletak pada tata kelola program yang masih amburadul. Menurutnya, pemerintah terlalu fokus pada jumlah Satuan Pelaksana Program Gizi (SPPG) yang dibentuk, namun mengabaikan aspek penting berupa kepatuhan terhadap standar operasional produksi (SOP).
“Pemerintah hanya melihat sudah terbentuk berapa SPPG, tapi tidak memastikan apakah petugasnya menjalankan SOP dengan benar atau tidak,” ujar dr. Tan.
Ia menambahkan, kelemahan Badan Gizi Nasional (BGN) dalam kasus ini terletak pada aspek supervisi, monitoring, dan evaluasi yang belum berjalan efektif.
Terkait kelayakan menu yang disajikan dalam program MBG, dr. Tan menegaskan bahwa sumber pencemaran bakteri sering kali berasal dari dapur yang tidak higienis.
“Bicara pengawasan itu tidak cukup hanya organoleptik, dicium, dibaui, dan sebagainya. Kalau sumber keracunan berasal dari dapur yang tidak terlihat, bagaimana menilainya?” jelasnya.
Ia mencontohkan fenomena tersebut seperti membeli jajanan di pinggir jalan. “Waktu dicium aromanya enak, misalnya bakso. Tapi setelah makan, malah kena tipus. Artinya, tidak semua hal bisa dinilai kasat mata,” tambah dr. Tan.
Lebih jauh, dr. Tan mengaku prihatin jika membandingkan pelaksanaan program MBG di Indonesia dengan program serupa di negara lain. Menurutnya, meskipun sama-sama tidak diawasi langsung, sistem di luar negeri berjalan lebih baik karena disertai kepercayaan publik dan kepatuhan terhadap SOP.
“Masalah utamanya adalah trust. Kalau SOP dilaksanakan dengan benar, masyarakat tentu akan percaya dan dengan senang hati menyerahkan anak-anaknya untuk mendapat asupan dari program MBG, yang mestinya menyumbang sepertiga kebutuhan kalori harian mereka,” pungkasnya.
(Rani Hardjanti)