Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

SPECIAL REPORT: Polemik Rumah Makan Padang Harus Warga Asli Minang

Kemas Irawan Nurrachman , Jurnalis-Minggu, 03 November 2024 |09:40 WIB
SPECIAL REPORT: Polemik Rumah Makan Padang Harus Warga Asli Minang
SPECIAL REPORT: Polemik Rumah Makan Padang Harus Warga Asli Minang
A
A
A

Dunia kuliner dikejutkan dengan razia rumah makan padang di Cirebon, Jawa Barat, yang dilakukan organisasi massa (Ormas). Dalam razianya, mereka menyebut bahwa pemilik rumah makan padang tersebut adalah abal-abal karena pemiliknya bukan warga Minang.

Selain itu, Ormas tersebut menyebut harga yang dijual yakni Rp10.000 dinilai terlalu murah dan dianggap merendahkan citra kuliner asal Minang itu sendiri.

Pasca kejadian tersebut, Ormas yang mengatasnamakan Ikatan Keluarga Minang di Samarida, Kalimantan Timur, menempelkan stiker yang menandakan pemilik rumah makan tersebut merupakan warga Minang.

Hal serupa ternyata juga terjadi Jakarta. Beberapa rumah makan Padang juga diberikan lisensi dari Ikatan Keluarga Minang bahwa restoran yang menjajakan masakan Padang ini merupakan asli berdarang Minang.

Momen itu diunggah salah satu akun di media sosial X, @_iamrobot_. Terlihat rumah makan Padang ini nampaknya berlokasi di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

“Rumah Makan Ini Asli Masakan Minang. Lisensi IKM,” bunyi poster tersebut.

SPECIAL REPORT: Polemik Rumah Makan Padang Harus Warga Asli Minang
SPECIAL REPORT: Polemik Rumah Makan Padang Harus Warga Asli Minang

Sejarah Rumah Makan Padang

Sebelum lebih jauh membahasnya, sebaiknya kita menilik sejarah rumah makan padang di Indonesia. Ini bermula ketika bergolaknya peristiwa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI di Sumbar yang berhasil ditumpas pada 1961.

Saat itu, warga Minangkabau eksodus besar-besaran keluar dari Sumbar menuju Pulau Jawa. Profesor sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang, Gusti Asnan, mengatakan, selama di perantauan para warga Minangkabau berusaha mengganti penyebutan identitas asal mereka termasuk asal etnik dari Minangkabau menjadi Padang. Termasuk penamaan kedai sebagai rumah makan padang dan itu dipertahankan sampai hari ini.

Sejatinya kedai nasi yang mashur dengan lauk lezatnya berupa rendang itu sudah hadir sejak akhir abad 19, ketika Padang menjadi ibu kota dari pusat pemerintahan Hindia Belanda di Sumatra bagian barat, Gouvernement van Sumatra's Westkust, seperti dikutip dari Indonesia.go.id.

 

Menimbulkan pro dan kontra

Razia yang dilakukan ormas di Cirebon, menimbulkan pro dan kontra. Ketua dari organisasi chef profesional Indonesia atau Association Chef Professional (ACP) Chef Stefu Santoso menyayangkan tindakan ormas tersebut.

Menurutnya, siapapun berhak membuat kuliner dengan label apapun, salah satunya rumah makan nasi padang. Dia menyebut, bisnis kuliner sebanarnya tidak perlu menyinggung soal ras, suku, dan agama.

“Menurut saya sebenarnya semua orang punya hak yang sama dalam membangun sebuah bisnis food and beverage. Bisnis kuliner tidak mengenal ras atau suku atau agama. Sebenernya bebas saja bagi setiap orang untuk membangun bisnis rumah makan yang berbagai jenis,” ujar Chef Stefu Santoso, kepada Okezone.

Sementara itu, soal membanderol harga Rp10 ribu untuk sepiring atau sebungkus nasi padang merupakan salah satu bentuk dari strategi dagang.

Menurutnya, strategi dagang yang dilakukan oleh pemilik bisnis rumah makan nasi padang itu bisa saja bertujuan, agar mereka tidak rugi atau juga untuk menarik minat pembeli, mengingat saat ini inflasi sedang tinggi-tingginya.

"Karena kalau menjual murah tapi rugi akan membuat mereka rugi. Tapi bisa juga untuk menarik minat pembeli karena sekarang inflasi sedang tinggi," tutur Chef Stefu Santoso.

Meski begitu, bak pepatah, 'Ada uang, ada barang', harga Rp10 ribu tersebut tentunya tidak bisa disamakan dengan nasi padang yang memiliki cita rasa nan otentik. Sebaliknya, ada juga nasi padang yang harganya mahal namun menawarkan pengalaman menyantap sajian masakan khas Minang yang otentik.

"Tapi kadang perlu dicermati juga bahwa harga 10 ribu itu apa yang didapat. Tanpa melihat harga saja," lanjutnya.

 

Ikatan Keluarga Minang (IKM) Angkat Bicara

Polemik ini membuat Ikatan Keluarga Minang ikut bersuara. Andre Rosiade selaku Ketua Harian Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Ikatan Keluarga Minang (IKM) menyebut siapapun boleh berjualan nasi padang karena menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

"Saya ingin menyampaikan hal itu (razia rumah makan) tidak benar, dan juga tidak boleh hal itu terjadi karena sekali lagi, bahwa hak setiap warga negara untuk boleh berjualan nasi padang," kata Andre Rosiade dikutip dari unggaham video di Instagramnya @andre_rosiade, Jumat (1/11/2024).

Andre juga meluruskan terkait isu lisensi restoran padang yang dikeluarkan IKM. Dia menjelaskan bahwa lisensi tersebut bertujuan untuk memastikan cita rasa dan untuk mendapatkannya, tidak dipungut biaya.

"Lisensi itu dikeluarkan oleh IKM. Pertama, tidak dipungut bayaran. Yang kedua, lisensi itu dalam rangka untuk memastikan cita rasa. Cita rasa bahwa masakan padang itu sesuai dengan ciri khas rasa padangnya," ujarnya.

"Yang kedua soal isu lisensi itu berbayar, itu tidak benar. Itu gratis dan lisensi itu dikeluarkan IKM hanya dalam rangka menjaga cita rasa bukan untuk melarang orang di luar masyarakat Minang atau Sumatera Barat untuk berjualan," tandasnya.

Oleh karena itu, pihaknya meminta polemik tersebut tidak perlu diperpanjang. Sekali lagi, Andre memastikan razia itu tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan.

(Kemas Irawan Nurrachman)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement