BANYAK kisah mistis yang terjadi terkait keberadaan kota gaib Saranjana yang masuk wilayah Desa Oka-Oka, Kecamatan Pulau Laut Kepulauan, Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan.
Salah satu yang paling populer ialah cerita seorang ustadz bernama Abah Hamid yang berhasil memasuki kota dengan peradaban maju tak kasat mata itu. Abah Hamid masuk ke Kota Saranjana lantaran memenuhi undangan untuk menjadi muadzin sekaligus imam Salat Jumat di sana.
Mengutip channel YouTube Podcast Horor Reborn, pada suatu malam, hujan tidak menyurutkan semangat Abah Hamid dan istrinya untuk beribadah di mushola.
Ketika Abah Hamid hendak pulang, tiba-tiba ia dipanggil oleh sosok pria tampan berpakaian putih bersih yang memberikan bingkisan dan berpesan untuk membukanya di rumah saja.
Abah Hamid pun terheran-heran dan tidak mengenali siapa pria yang memberikan bingkisan tersebut. Setiba di rumah saat dibuka, mereka menemukan sebuah tali benang hitam dan beberapa lembar uang.
Keheranan mereka bertambah ketika tali hitam itu yang semula berada di dalam bungkusan, tiba-tiba berpindah dan terikat pada kaki kanan Abah Hamid.
Saat tertidur, dalam mimpi Abah Habid berjumpa dengan genderuwo yang hampir mencelakainya hari itu. Namun, tiba-tiba saja si genderuwo berlutut, meminta maaf kepadanya.
Genderuwo itu menjelaskan bahwa benang hitam tersebut berfungsi sebagai tameng, menjaga Abah Hamid dari gangguan makhluk halus dan jin. Selama benang hitam itu ada di kakinya, tak ada makhluk astral yang bisa mencelakainya. Keterkejutan dan kebingungan Abah Hamid semakin bertambah.
Bukit Saranjana di Desa Oka-Oka, Kotabaru (Foto: X/@GustiGina)
Keesokan harinya, ustadz yang dikenal ramah ini menjadi narasumber pengajian yang diadakan di desa tetangga. Sesampainya di tempat, keheranan meliputi wajahnya saat melihat jumlah jamaah yang tidak seperti biasanya.
Jamaah pengajian kali ini tak hanya berjumlah lebih dari 25 orang, dan nampak sangat antusias dengan pakaian serba putih. Meski tuan rumah terheran-heran karena jumlah jamaah seharusnya hanya tiga orang, Abah Hamid tetap memohon izin untuk memulai pengajiannya.
Namun, alangkah terkejutnya Abah Hamid setelah 30 menit pengajian selesai, dan hendak pamit, ia baru menyadari jika di hadapannya hanya dua orang jamaah yang tersisa.
Fathur, salah satu jamaah, menceritakan bahwa kakeknya, seorang paranormal, juga pernah mengalami pengalaman serupa. Orang-orang tersebut, menurut keterangan kakek Fathur, adalah orang Saranjana, dengan ciri khas tanpa lekukan di antara hidung dan bibir (philtrum).
Pada malam Jumat Kliwon, Abah Hamid bersiap menuju mushola untuk menunaikan Salat Maghrib berjamaah. Senja itu sedang gerimis, namun seperti biasa Abah Hamid yang mengenakan kopiah usang sambil membawa tasbih tetap bersemangat pergi ke mushola.
Dari arah belakang, datanglah sosok berpakaian serba putih yang beberapa hari lalu memberinya bungkusan berisi uang dan gelang benang hitam. Mustafa, begitu orang itu memperkenalkan diri, mengajak Abah Hamid ke suatu tempat.
Mustafa menceritakan bahwa rajanya mencari pengurus masjid, dan Abah Hamid dipilih setelah melewati ujian gangguan makhluk halus sebagai tes keteguhan hati.
Gerbang megah pun terbuka, terlihat pemandangan kota besar nan indah dengan bangunan megah dan penduduk berpakaian muslim. Mustafa lalu membawa Abah Hamid naik delman menuju masjid, dengan kubah emas berlantai kristal.
Sementara itu di desa tempat tinggal mendadak gempar karena tidak mendengar adzan Maghrib yang selalu dilantunkan Abah Hamid. Jamaah pun cemas, hingga salah satu jamaah bernama Pak Jamil mencoba ke rumah Abah Hamid.
Namun, ia hanya bertemu dengan istrinya, yang menjelaskan bahwa Abah Hamid pamit pergi ke mushola sejak pukul 17.30 Wita atau sebelum waktu Maghrib tiba.
Warga yang dipimpin kepala desa lalu melakukan pencarian seusai Salat Maghrib. Mereka mencari Abah Hamid di tengah kegelapan malam yang tiba-tiba menghilang tanpa jejak.
Ilustrasi kota gaib (Foto: Pixabay)
Dengan perlengkapan ritual mencari orang hilang, seperti entong kayu, kentongan, nyiru, dan obor, mereka menyusuri hutan antara rumah Abah Hamid dan mushola. Namun, hasilnya tetap nihil.
Tanpa mereka sadari, Abah Hamid telah 'diambil' oleh penduduk Saranjana. Selepas mengimami Salat Maghrib, Mustafa lalu membawa Abah Hamid menuju istana yang terbuat dari emas dan menyuguhkannya hidangan yang sangat jarang dia temui di kampungnya.
Setelah perjamuan selesai, Mustafa mengantar Abah Hamid pulang dengan kuda dan kereta yang indah. Namun, Abah Hamid sempat diminta memejamkan mata dan seketika telah kembali di depan rumahnya.
Setiba di depan rumah, Abah Hamid sayup-sayup mendengar suara orang tahlilan. Begitu masuk rumah ternyata benar, ia mendapati warga sedang duduk tahlilan karena mengira Abah Hamid sudah meninggal dunia setelah lama tak pulang ke rumahnya.
Jamaah yang melihat Abah Hamid di depan pintu kaget bukan kepalang bercampur bahagia. Pembacaan tahlil seketika dihentikan, dan Abah Hamid diminta jamaah untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi, dan ke mana dirinya selama ini.
Dengan detail Abah Hamid menjelaskan perihal pertemuannya dengan Mustafa dan menggambarkan kondisi tempat di mana ia dibawa yang begitu mirip kota metropolitan serba mewah.
Jalanan lebar, mobil mewah, gedung-gedung tinggi, dan rumah-rumah megah dengan pagar tinggi, semuanya bernuansa Islami. Warga desa yang mendengarkan kisah luar biasa Abah Hamid dengan takjub dan kebingungan.
Anehnya lagi, Abah Hamid bercerita ia hanya pergi untuk Salat Maghrib namun ternyata menurut cerita warga dan keluarganya, pria itu telah menghilang selama tujuh hari atau seminggu lamanya. Abah Hamid juga sempat menceritakan jika ciri khas penduduk kota yang didatanginya itu tidak memiliki lekuk di antara hidung dan bibir.
Sekira tiga bulan pascaperistiwa itu, Abah Hamid kembali dilaporkan menghilang dan pulang dengan membawa cerita bahwa ia telah menjadi guru ngaji di Kota Saranjana.
Peta Saranjana (Foto: Salomon Muller)
Warga desa di pinggir Pantai Oka-Oka memang pernah mengisahkan bahwa mereka sering mendengar alunan musik dan melihat cahaya warna-warni dari tengah laut, yang diyakini sebagai pesta Kerajaan Saranjana.
Pada suatu momen ketika warga desa sedang bersiap-siap menuju acara pernikahan, Abah Hamid sempat menceritakan keunikan buah-buahan di Saranjana yang tiga kali lipat lebih besar dari yang ada di alam nyata.
Ia juga menggambarkan pesta pernikahan di Saranjana, di mana buah anggur harus dipotong menjadi tiga bagian baru bisa dimakan bersama karena saking besarnya.
Sejak peristiwa itu, kehidupan Abah Hamid pun terbagi antara dunia nyata dan Saranjana. Meski jarang pulang, Abah Hamid tetap menafkahi istrinya dari upah sebagai guru ngaji di Kota Saranjana.
(Rizka Diputra)