DALAM semangat peringatan Hari Kesehatan Nasional 2023, Masyarakat Sadar Risiko Indonesia (MASINDO) menggelar webinar bertajuk Upaya Preventif & Sadar Risiko Penyakit Tidak Menular.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, dr Eva Susanti membuka sesi dengan menyoroti pentingnya mengendalikan faktor risiko dan deteksi dini.

"Kalau kita bicara terkait dengan penyakit tidak menular, memang yang paling penting adalah bagaimana kita mengendalikan faktor risiko dan mengupayakan deteksi penyakit sedini mungkin," ujar dr Eva.
BACA JUGA:
Pendekatan pencegahan yang strategis menjadi sangat penting. Dalam 10 tahun terakhir, penyakit tidak menular semakin meningkat. Saat ini, PTM menjadi penyebab 70 persen kematian dan sumber terbesar beban pembiayaan kesehatan di Indonesia.
"Maka fokus kita terutama bagaimana kita mengendalikan faktor risiko. Jadi kita satu tujuan dengan MASINDO, bagaimana kita menggerakkan masyarakat untuk mengendalikan faktor risikonya, dan berupaya untuk hidup sehat," tambahnya.
Menurut dr Eva, Kementerian Kesehatan berkomitmen untuk melibatkan berbagai sektor lintas bidang dalam upaya penanganan penyakit tidak menular, mengingat banyaknya pihak yang perlu dilibatkan dalam kerja sama ini.
BACA JUGA:
"Di bidang penelitian, kami memerlukan studi yang dapat menjadi dasar bagi kebijakan yang akan diambil di masa depan, serta evaluasi efektivitas kebijakan yang telah diimplementasikan. Kami juga terbuka terhadap inovasi dalam pendekatan komunikasi dengan masyarakat," terangnya.
dr. RA Adaninggar Primadia Nariswari yang dikenal sebagai dr. Ningz, seorang praktisi dan komunikator kesehatan menambahkan, mengungkapkan PTM sering kali berkaitan dengan gaya hidup yang tidak sehat, seperti kebiasaan merokok, kurang berolahraga, dan konsumsi alkohol.
Untuk itu, upaya preventif harus menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Pencegahan bisa dilakukan di semua titik, dari pencegahan primer dengan mendeteksi individu berisiko, sekunder untuk mencegah komplikasi, hingga tersier untuk mencegah cacat dan kematian.
"Edukasi masyarakat adalah kunci untuk mengubah perilaku," kata dr. Ningz.
Dalam era digital yang serba cepat ini, tantangan dalam menyampaikan edukasi kesehatan menjadi lebih kompleks, terutama di media sosial. Meskipun banyak yang menggunakan smartphone, kesadaran untuk mengecek kebenaran informasi masih sangat terbatas, bahkan di kalangan masyarakat berpendidikan tinggi pun, masih sering terjadi pengulangan mitos atau hoax yang keliru.
Ia menekankan perlunya kolaborasi pentahelix (multi pihak) dalam upaya perubahan perilaku masyarakat.
"Kerja sama antara pemerintah, masyarakat, akademisi, pelaku usaha, dan media sangat penting. Program edukasi publik yang dirancang harus diikuti dengan kegiatan sosialisasi, advokasi, implementasi, dan evaluasi untuk mencapai perubahan perilaku yang signifikan," pungkasnya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Center of Youth and Population Research (CYPR), Boedi Rheza, turut memberikan pandangan tentang peningkatan prevalensi PTM dan urgensi riset serta inovasi dalam mengatasi masalah ini.
"Peningkatan ini menunjukkan adanya kebutuhan mendesak untuk edukasi dan kebijakan kesehatan yang lebih efektif seperti konsep pengurangan risiko, mengingat dampak PTM terhadap kualitas hidup dan beban ekonomi di masyarakat," jelas Boedi.