KATA "phubbing", adalah gabungan dari Istilah phubbing tercipta dari kata phone, artinya telepon, dan snubbing, yang berarti menghina. Pada Mei 2012, sebagai bagian dari eksperimen linguistik yang dilakukan oleh sebuah biro iklan di Australia, McCann Melbourne bersama Macquarie Dictionary, mengundang sejumlah leksikografer, penulis, dan penyair untuk menciptakan sebuah neologisme untuk menggambarkan perilaku tersebut.
Istilah ini kemudian muncul di media di seluruh dunia dan dipopulerkan oleh kampanye Stop Phubbing. Terminologi baru ini mengacu pada perilaku yang lebih memperhatikan ponsel cerdas atau perangkat digital lainnya daripada berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan sosial.

Phubbing tentu saja ikut mewabah di Indonesia. Hal ini menjadi satu bentuk fenomena lambang modernitas yang menunjukkan daya tarik layar digital sering kali bersaing dengan interaksi di dunia nyata. Manifestasinya bisa dalam berbagai cara, mulai dari melirik ponsel secara diam-diam selama percakapan hingga mengabaikan interaksi langsung karena fokus terus-menerus pada layar. Perilaku ini secara tidak sengaja dapat menunjukkan pengabaian terhadap perasaan dan kehadiran orang lain, sehingga menyebabkan hubungan menjadi tegang, miskomunikasi, bahkan perasaan terisolasi. Pernah menghadapi orang atau klien yang melakukannya?
Bayangkan saat Anda duduk bersama teman di kafe, bersemangat untuk berbagi cerita dan tawa namun di tengah percakapan yang mengalir, perhatian teman terus beralih ke ponsel mereka, asyik dengan pesan, aplikasi, atau feed media sosial. Keasyikan mereka pada layar secara halus namun jelas tentu menutupi keterlibatan mereka dengan Anda dan orang lain di meja. Meskipun hadir secara fisik, mereka secara mental menjauh.
Inilah paradoks telepon genggam: mendekatkan yang jauh, menjauhkan yang dekat. Skenario ini menggambarkan bagaimana phubbing secara halus dapat mengikis kualitas interaksi interpersonal, membuat individu merasa diremehkan bahkan terputus meskipun berada dalam jarak yang dekat. Sangat dekat.
Penelitian Hankamer School of Business dari Baylor University, Texas terhadap 453 responden bahkan menunjukkan, phubbing menyebabkan 40-50% keluarga pecah, serta menurunkan kepuasan hubungan sosial antarindividu karena saling tak memperhatikan.
Dalam situasi ini, prevalensi phubbing, atau penghinaan menjadi sangat jelas. Apa yang tampak seperti multitasking yang tidak berbahaya ternyata mengungkapkan masalah yang lebih dalam: terkikisnya hubungan yang tulus di antara kaum muda sebagai pemain utama teknologi secara bertahap. Fenomena modern ini tidak hanya mengubah dinamika sosial. Hal ini membentuk jalinan hubungan dan kesejahteraan mereka.
Saat kita menengok dimensi dampak phubbing, hamparan peradani efek yang kompleks akan terlihat. Terutama remaja sebagai pengguna aktif gadget. Dampak negatif yang mengkhawatirkan misalnya menurunnya keterampilan interpersonal di kalangan remaja. Kemampuan mereka untuk mendengarkan secara aktif, menafsirkan isyarat non-verbal, dan terlibat dalam interaksi tatap muka semakin berkurang karena layar menuntut lebih banyak perhatian.
Konsekuensinya berdampak pada hubungan sosial. Meninggalkan defisit empati dan koneksi yang lebih dangkal. Meskipun begitu, tentu ada hal positif yang tak terduga di tengah kabut digital ini. Phubbing secara tidak sengaja memupuk individu yang paham teknologi dengan bakat bawaan untuk menavigasi lansekap digital. Penggunaan perangkat yang berlebihan selain menimbulkan kekhawatiran, hal ini tanpa sadar telah mengasah kemampuan beradaptasi remaja, sehingga memungkinkan mereka untuk menghadapi gelombang kemajuan teknologi dengan mudah.
Artikel ini bukan untuk membedah dimensi-dimensi ini namun lebih mengingatkan untuk memupuk literasi digital, mendorong keterlibatan teknologi yang seimbang, dan membina interaksi offline. Ini yang terasa makin kurang di kalangan remaja sekarang.
Kita harus dapat membuka jalan bagi generasi muda yang tangguh dan memiliki keterampilan untuk melampaui batas-batas phubbing. Mereka harus mampu memanfaatkan teknologi sambil menjaga hubungan antarmanusia. Ini sebuah perjalanan yang jika dilakukan secara kolektif, dapat membentuk kembali narasi hubungan generasi muda di era digital.
Sebagai seorang konsultan pemrograman pikiran beberapa klien saya mengungkapkan kegelisahan ini. Nita misalnya, remaja berusia 17 tahun yang suka ngobrol dan tidak terikat oleh layar, kini sering kali berlomba-lomba mencari perhatian teman-temannya di tengah gemerlap gawai. “Sepertinya saya berbicara ke layar mereka, bukan ke mereka,” keluhnya. Kisah Nita mencerminkan perjuangan yang dihadapi banyak anak muda ketika mencari koneksi yang bermakna di tengah dunia yang terpikat oleh layar.
Kisah-kisah pribadi ini menggarisbawahi pentingnya mengatasi berbagai masalah phubbing. Dampak phubbing tidak hanya terbatas pada interaksi sosial. Hal ini juga dapat membentuk cara remaja memandang diri mereka sendiri dan kemampuan mereka untuk terhubung dengan orang lain.
BACA JUGA:
Dampak phubbing tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga mempengaruhi fondasi masyarakat. Masa depan hubungan antarmanusia bergantung pada cara kita menavigasi lanskap digital saat ini. Hal ini yang membuat kita harus melakukan upaya kolektif untuk mendefinisikan kembali peran teknologi dalam interaksi generasi muda.
Beberapa kelompok anal muda sebenarnya sudah muncul untuk mengantisipasi ini semua. Inisiatif inovatif seperti Tech-Free Tuesdays, yang dipelopori oleh kelompok aktivis muda ConnectMind, menantang norma-norma dan mendorong teman-teman untuk menikmati momen tanpa layar. Di dunia, digitalisasi sepertinya tidak bisa dihindari. Maka kisah-kisah tentang ketahanan dan pemberdayaan ini perlu semakin diperbanyak agar menjadi menjadi sumber inspirasi.
Hal inilah yang kita perlukan. Perwujudan nyata dari masyarakat yang berada di persimpangan jalan, untuk membentuk kembali narasi digital dan mengembalikan keaslian hubungan manusia terutama generasi muda dalam kondisi yang semakin phubbing.
BACA JUGA:
Pendekatan inovatif perlu semakin dimunculkan. Ada contoh misalnya individu-individu yang berjanji untuk memutuskan sambungan layar selama jangka waktu tertentu, seperti "Unplugged Weekend Challenge’. Gerakan social ini mengajak kaum muda untuk menjauhi perangkat, memungkinkan mereka menemukan kembali kegembiraan dalam interaksi real-time dan terlibat dalam aktivitas yang melampaui batas-batas digital. Tantangan-tantangan ini tidak hanya menyoroti nilai interaksi tatap muka namun juga menciptakan rasa kebersamaan dalam komunitas dalam upaya mencapai kehidupan yang seimbang dengan teknologi.