Selain itu, juga ditemukan arca Nandi di sekitar Sungai Cilamaya. Memang sekarang tempat ditemukannya arca Nandi tersebut masuk ke wilayah administratif Kecamatan Serangpanjang, Kabupaten Subang. Namun jika melihat letak geografisnya, diduga daerah tersebut dulunya merupakan bagian, paling tidak bersinggungan dengan Kerajaan Saung Agung. Sebuah kompleks yang mencakup Batu Tulis (menurut masyarakat setempat), Batu Kacapi, dan Batu Lawang.
Kemudian di Kampung Panembahan (Desa Pasanggrahan, Bojong) terdapat makam Eyang Pandita, yang diduga berkaitan dengan daerah “kabuyutan” pada zaman Pajajaran. Di Kompleks Gunung Geulis (Ciracas, Kiarapedes)terdapat makam Eyang Rangga Wulung dan makam Ratu Inten Dewata, yang katanya berasal dari Pajajaran. Tempat lainnya yang diduga ada kaitannya dengan masa-masa itu adalah daerah di sekitar Curug Cimanahrasa.
Di sekitar curug terdapat sebuah dataran kira-kira seluas lapangan sepakbola, yang dikelilingi selokan (parit).
Diduga merupakan parit buatan. Berada di sebuah lembah yang dikelilingi hutan pinus.
Sementara di dataran tersebut nyaris tidak ada pohon besar yang tumbuh. Kompleks Curug Cimanahrasa berada tidak jauh dari Pasir Nagara Cina.
Kepastiannya memang masih memerlukan penelitian lebih saksama.
Jejak lainnya tampak dari kesenian buncis. Buncis merupakan kesenian yang menggunakan alat musik (waditra) utamanya angklung.
Buncis diduga kuat merupakan salah satu kesenian Sunda yang berasal dari zaman Sunda kuno. Penyebarannya meluas hampir di seluruh wilayah Tatar Sunda.
Buncis juga terdapat di Banyumas Jawa Tengah, yang dulu merupakan bagian dari Kerajaan Sunda.
Di daerah Wanayasa, buncis masih bisa ditemukan di daerah Sumbersari (Kiarapedes) dan Gandasoli (Wanayasa).
Sedangkan di Pasir Angin (Darangdan), buncis disebut dur-ong atau dom-yang, yang dilengkapi dengan barongsay (kepala naga) ketika ditabuh dalam arak-arakan. Di Wanayasa sendiri, buncis merupakan seni pertunjukan.
Menurut seniman tradisional setempat, sebagai seni pertunjukan buhun, buncis di Wanayasa mempunyai unsur ngalaga, ngalagu, dan ngalage. Ngalaga mengandung arti memperlihatkan kedigjayaan seperti pemain debus.
Oleh karena itu, dalam pertunjukan buncis di Wanayasa selalu ada pertunjukan kekebalan tubuh, misalnya dipukuli dengan dahan cangkring atau dahan pohon salak, makan setandan pisang. Ngalagu mengandung arti menyanyikan lagu-lagu yang diiringi alat kesenian buncis.
Sedangkan ngalage adalah hiburan lainnya di luar ngalaga dan ngalagu seperti menari dan “ngabodor” melawak.
Masyarakat adat di Ciseureuh (Kecamatan Kiarapedes) mengaku bahwa mereka keturunan Pajajaran, yang sudah menetap di sana sejak zaman Pajajaran.
Di daerah tersebut masih terdapat tujuh leuit (lumbung padi) berjejer di samping rumah ketua adatnya, yang disebut Abah Sepuh. Mereka juga masih memiliki sawah adat yang digarap bersama untuk kepentingan bersama, di antaranya untuk mengisi tujuh lumbung padinya.
Bangunan tujuh lumbung padi yang berjejer, mengingatkan kita kepada ungkapan cerita pantun “tujuh leuit nu ngabandung” (tujuh lumbung padi yang berdampingan). Namun jika mencermati upacara adatnya yang disebut “Hajat Mulud” tampak sekali pengaruh Cirebon.
Antara lain dengan dilaksanakannya upacara membersihkan benda-benda pusaka seperti halnya “Nyangku” di Panjalu dan “Panjang Jimat” di Cirebon. Pada kesempatan tersebut ditampilkan kesenian terebangan, dengan melantunkan lagu-lagu buhun bberbahasa Sunda.