HAPPY Salma konsisten dalam misinya menyetarakan gender di proses penciptaan karya seni. Hal ini tertuang juga di Monolog 'Di Tepi Sejarah' Musim Kedua.
Ya, tak hanya seniman pria yang dilibatkan Happy Salma dalam pengerjaan monolog tersebut, tapi ada nama-nama perempuan hebat juga di sana. Bukan hanya tim produksi, tapi sosok perempuan yang diangkat menjadi kisah monolog.
"Menurut saya, pandangan perempuan diperlukan di setiap karya seni. Itu juga tersaji di monolog 'Di Tepi Sejarah' Musim Kedua," kata Happy Salma saat ditemui langsung di kawasan M Blok Space, Jakarta Selatan, Senin (15/8/2022).
Menurut Happy Salma, suara perempuan diperlukan untuk memberi perspektif berbeda dari pandangan pria. Itu yang membuat satu karya seni bisa lebih berwarna dan tentunya setara.
BACA JUGA : Monolog Di Tepi Sejarah: Belajar Sejarah Tak Selalu Harus lewat Buku Loh
Di produksi monolog 'Di Tepi Sejarah' Musim Kedua, nama perempuan yang terlibat dalam proses produksi adalah Dira Sugandi sebagai pemeran Emiria Soenassa, seorang perempuan pelukis pertama di Indonesia yang hidup di tahun 1895-1964. Namun, ia baru mulai melukis di usia 45 tahun, dan langsung menghasilkan karya lukisan yang mencengangkan.
Di judul monolog 'Yang Tertinggal di Jakarta' tersebut, sutradara yang dilibatkan adalah Sri Qadariatin. Happy Salma amat bahagia sekali ada sutradara perempuan yang terlibat di monolog ini.
"Ini bukti mengapa peran perempuan dibutuhkan juga di setiap lini kehidupan, termasuk dalam pembuatan karya seni. Sudut pandang perempuan akan memberi rasa tersendiri dan membuat karya seni menjadi lebih bervariasi," tambahnya.
Sedikit soal sosok Emiria Soenassa yang ditarik ke permukaan untuk ditampilkan profilnya di monolog 'Di Tepi Sejarah', adalah sosok pelukis perempuan yang pernah bergabung dalam organisasi Persatuan Ahli Gambar Indonesia (PERSAGI) yang mana kebanyakan anggotanya adalah laki-laki.