Supaya membedakan antara kemungkinan ini, para peneliti mempelajari tikus yang telah mengalami interaksi sosial negatif, yang menginduksi perilaku terkait depresi yang lebih kuat pada wanita daripada pria.
Dalam studi yang dipublikasikan dalam jurnal Biological Psychiatry tersebut, diketahui setelah mengidentifikasi perubahan molekuler serupa pada otak tikus dan manusia. Lalu peneliti memilih satu gen, yakni pengatur sinyal protein g-2, atau Rgs2, untuk dimanipulasi. Gen ini mengontrol ekspresi protein yang mengatur reseptor neurotransmiter yang ditargetkan oleh obat antidepresan seperti Prozac dan Zoloft.
Profesor Brian Trainor, penulis studi di atas menyebutkan pada manusia versi protein Rgs2 yang kurang stabil dikaitkan dengan adanya peningkatan risiko depresi. Jadi kami ingin lihat apakah peningkatan Rgs2 dalam nukleus accumbens bisa mengurangi perilaku terkait depresi,” ujar Profesor Brian.
Selanjutnya, para peneliti sengaja meningkatkan protein Rgs2 dalam nukleus accumbens tikus. Hasilnya, metode ini secara efektif membalikkan efek stres pada tikus betina, dicatat jugabahwa pendekatan sosial dan preferensi untuk makanan yang disukai meningkat ke tingkat yang diamati pada tikus betina yang tidak mengalami stres.
Hasil studi penelitian ini menyoroti mekanisme molekuler yang berperan pada kurangnya motivasi, yang sering diamati pada pasien depresi. Penurunan fungsi protein contohnya Rgs2, bisa berkontribusi pada gejala yang sulit diobati pada orang-orang yang berjuang dengan penyakit mental seperti depresi ini.
Para peneliti berharap, hasil temuan dari studi sains dasar seperti ini bisa jadi salah satu panduan pengembangan farmakoterapi untuk mengobati secara efektif orang-orang yang menderita depresi.
(Rizky Pradita Ananda)