DI momen hari ulang tahun (HUT) ke-76 Republik Indonesia, Selasa 17 Agustus 2021, ini masyarakat Tanah Air diajak mengenal batik tulis peranakan. Ini menjadi salah satu peninggalan sejarah simbol hubungan erat warga Tionghoa dan Jawa.
Batik tulis peranakan salah satunya berada di Pekalongan, Jawa Tengah. Tapi sayangnya pemilik salah satu batik tulis halus peranakan tertua di sana yang terkenal karena pembuatnya "perfeksionis" memperkirakan produknya tak bisa dipertahankan lagi alias akan punah dalam waktu dekat.
Tidak ada papan nama Oey Soe Tjoen, usaha batik berusia hampir 100 tahun, di Jalan Kedungwuni, yang terletak sekira 30 menit jika berkendara dengan mobil dari alun-alun Pekalongan. Yang ada hanya papan kecil putih dengan tulisan traditional 'Batik Art', sehingga pengunjung dari luar kota mungkin harus tersesat beberapa kali sebelum menemukan tempat itu.
Meski dari luar tampak seperti hunian lainnya, rumah di balik terali coklat khas Tionghoa itu adalah saksi bisu terbentuknya Batik Oey, satu dari hanya dua usaha batik tulis halus peranakan yang masih bertahan di Pekalongan.
Di kalangan para kolektor, batik itu dikenal sebagai yang paling halus dan paling peduli pada detail, maka bisa dijual dengan harga hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Namun bagi Widianti Wijaya, generasi ketiga, atau mungkin yang terakhir, usaha itu tinggal menunggu "napas terakhir".
Widianti bercerita bagaimana mereka bertahan dengan bisnis itu selama 20 tahun dengan sosok para pembatik yang dia sebut menjadi "seniornya", karena mengajarinya memahami proses pembuatan batik dari nol.
Baca juga: HUT Ke-76 RI, Potret 4 Artis Cantik Pakai Kebaya Merah Kian Memesona
Satu Kain, Tiga Tahun
Jari-jari Widia tampak berwarna biru, seperti pewarna kain yang tengah dipakainya. Ia berdiri memegang satu sisi kain. Sementara Kunirah, seorang pembatik yang berusia 53 tahun memegang sisi yang lain, di tempat penjemuran batik di belakang rumahnya.
Kicauan burung-burung juga gonggongan anjing mengiringi proses penjemuran itu yang dilakukan sekira pukul 10.00 WIB, saat matahari bersinar terang, tapi tak cukup terik untuk merusak kain. Setiap beberapa menit, mereka dengan telaten membalik kain itu agar tiap sisi mendapat sinar mentari.
Tidak lama, kain dengan gambar burung, kupu-kupu, dan bunga khas Oey Soe Tjun berubah warna. Dari yang tadinya kecoklatan, menjadi biru di pinggir-pinggirnya.
Selanjutnya kain itu dibawa masuk ke tempat pemrosesan batik, sebuah bangunan kecil dengan atap seng beralas bambu. Tungku menyala berisi air membuat hawa di sana gerah, tapi tampaknya tak mengganggu Widia dan Kunirah yang selanjutnya sibuk menyuci batik itu dengan air sabun untuk menghilangkan asam dari kain. Keesokannya, proses itu diulangi lagi.
Setelah itu, pekerjaan dilanjutkan dengan pelorotan atau meluruhkan wax (lilin yang digunakan untuk menutup beberapa bagian kain) dengan air yang direbus dalam tungku. Dalam proses itu, tangan Widia mengaduk-aduk kain dengan sebuah tongkat. Asap membumbung tinggi, menguras keringatnya.
Itu adalah bagian dari proses panjang pembuatan Batik Oey. Selain dikerjakan ekstra hati-hati, cuaca dan kondisi pembatik juga berperan. Saat musim panen, pembatik biasanya turun ke sawah.
"Kalau mereka turun ke sawah, biasanya saya larang untuk pegang batik karena panas matahari siang akan memengaruhi fungsi mata mereka. Itu terlihat pada hasilnya," kata Widianti, seperti dikutip dari BBC, Selasa (17/8/2021).
Hal-hal itu membuatnya membutuhkan waktu hingga tiga tahun untuk membuat sebuah kain, kalau semua sesuai rencana. Jika tidak, ia rela menghabiskan 10 tahun untuk terus menyempurnakann kainnya.
Baca juga: 5 Potret Artis Pakai Masker Merah Putih, Inspirasi Gaya Rayakan HUT Ke-76 RI