Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement

Mengupas Ritual Malam 1 Suro di Gunung Lawu, Potong Ayam Hitam di Puncak!

Dimas Andhika Fikri , Jurnalis-Jum'at, 30 Agustus 2019 |23:26 WIB
Mengupas Ritual Malam 1 Suro di Gunung Lawu, Potong Ayam Hitam di Puncak!
Ilustrasi. (Foto: Shutterstock)
A
A
A

MENJELANG malam 1 Suro, masyarakat lokal maupun para pendaki dari berbagai daerah di Indonesia biasanya akan memenuhi Gunung Lawu di Jawa Timur.

Bahkan dalam beberapa tahun terakhir, telah terjadi peningkatan jumlah pendaki yang signifikan pada malam 1 Suro atau malam pergantian Tahun Baru Islam 1438 Hijriah. Jumlah pendaki yang naik diklaim bisa mencapai ratusan orang.

Tujuan mereka mendaki Gunung Lawu pun tidak terlepas dari kepercayaan yang berkembang di tengah masyarakat lokal. Mulai dari sekadar berziarah ke spot-spot yang disakralkan, hingga bersemedi dan berdoa untuk meminta kelancaran rezeki maupun karier.

Hal tersebut dijelaskan secara gamblang oleh Wahyu Kurnia, salah seorang pegiat alam yang telah berulang kali mendaki puncak Gunung Lawu. Menurut pengakuannya, menjelang malam 1 Suro, para pendaki Gunung Lawu datang berbagai kalangan.

"Peziarahnya banyak kalau malam 1 Suro itu. Banyak yang sudah mbah-mbah, banyak umat Hindu juga, terus ada yang memang datang khusus untuk 'meminta' sesuatu. Saya sendiri waktu itu datang bersama rombongan, karena memang mendapat 'undangan' dari yang 'di atas', istilahnya yang empunya Gunung Lawu," tutur Wahyu Kurnia saat dihubungi Okezone.

 menjelang malam 1 Suro, para pendaki Gunung Lawu datang berbagai kalangan.

Tiga jalur pendakian

Lebih lanjut, Wahyu menjelaskan, untuk malam 1 suro, pihak pengelola Gunung Lawu memang sengaja membuka 3 jalur pendakian sekaligus mengingat jumlah pendaki yang terbilang banyak.

Tiga jalur itu antara lain, Cemoro Sewu, Cemero Kandang, dan Candi Ceto. Kendati demikian, hanya ada dua jalur yang direkomendasikan karena terbilang aman untuk dilalui.

"Jalur paling jelas itu Cemoro Sewu, jalurnya itu bebatuan tapi sudah kayak jalan setapak. Dan di jalur ini banyak warung-warung atau tempat peristirahatan. Yang kurang jelas itu jalur Candi Ceto. Di sana harus benar-benar teliti. Kebanyakan pendaki hilang itu di jalur Candi Ceto," jelas Wahyu.

Selain ketiga jalur di atas, sebetulnya ada beberapa jalur alternatif dan juga jalur legendaris yang berada di kawasan Magetan. Dulunya, jalur ini digunakan oleh para Raja Majapahit. Meski sempat ditutup, belakangan jalur legendaris itu telah resmi dibuka kembali.

"Peziarah itu kan mayoritas orang-orang tua. Jadi mereka lebih memilih jalur Cemoro Sewu karena lebih dekat dibandingkan jalur yang lain. Banyak warung juga yang dibuka di setiap pos pendakian," tambahnya.

Cuaca berubah jelang malam 1 Suro

Percaya atau tidak, Wahyu mengatakan bahwa cuaca Gunung Lawu menjelang malam 1 Suro itu selalu berkabut dan berangin. Awan tampak mendung seolah ingin menyembunyikan sesuatu.

"Pokoknya enggak bisa dilihat dari bawah. Kalo diibaratkan, di sana sedang berkumpul raja-raja. Takutnya kalau Lawu kebuka, pancaran energi yang silih berganti takut keliatan. Jadi dibikin kayak mendung," katanya.

Oleh karena itu, para peziarah maupun pendaki akan berkumpul beberapa hari sebelum malam 1 Suro berlangsung. Biasanya pada tanggal 30-31 Agustus atau malam sebelum tahun baru Muharram, mereka sudah memenuhi basecamp atau pos-pos pendakian.

Mereka biasanya akan mulai pendakian di pagi hari, agar punya banyak waktu luang untuk melakukan ritual atau bersemedi.

4 spot ritual di Gunung Lawu

Tempat ritual di Gunung Lawu sendiri terbagi menjadi 4 spot terpisah antara lain, Sendang Jolo Tundo, Sendang Drajat, Hargo Dalem, dan Hargo Dumilah. Masing-masing spot memiliki keunikan tersendiri.

Sendang Jolo Tundo terdapat mata air di puncaknya. Menurut kepercayaan yang berkembang, spot ini dijaga olah sesosok makhluk gaib yang menyerupai ular naga (nogorojo).

Kemudian Sendang Derajat yang diketahui sebagai tempat petilasan raja terakhir Majapahit yakni, Prabu Brawijaya V. Tempat ini sering digunakan untuk bersemedi, berdoa, dan mengambil air suci.

Lalu ada Hargo Dalem. Wahyu menceritakan bahwa sebenarnya Gunung Lawu menyerupai sebuah kerajaan. Bekas-bekas kerajaan Majapahit masih ada di sana.

Di sini terdapat savana bulak bekas pertempuran dua kerajaan di jalur Candi Cheto.

Contohnya seperti di pos 5. Di sini terdapat savana bulak bekas pertempuran dua kerajaan di jalur Candi Cheto.

"Pada saat itu, Eyang Brawijaya dikejad sama anaknya sendiri untuk di-Islamkan. Eyang Brawijaya bersikukuh untuk mempertahankan kepercayaannya. Di tempat inilah, ia melakukan moksa atau lepas dari ikatan duniawi dan lepas juga dari perputaran reinkarnasi. Dia hilang bersama raganya," ungkap pria yang ikut dalam Paguyuban Kasepuhan Jawi Ngesti Budoyo itu.

Sementara di puncak Gunung Lawu, peziarah biasanya akan mengunjungi Hargo Dumilah. Di tempat ini sudah ada tugu khusus untuk mereka yang ingin bertapa, meditas, bakar dupa, dan meletakkan sesajen.

Aktivitas para peziarah

Pada saat mendaki Gunung Lawu di tahun 2017 lalu, Wahyu dan teman-temannya memang sengaja datang untuk memenuhi 'undangan' dari sang penguasa gunung yakni, Prabu Brawijaya V.

Alhasil, selama proses pendakian berlangsung, Wahyu juga mendatangi spot-spot ritual untuk sekadar berdoa dan kulo nuwun (permisi). Ia pun mengaku sempat melihat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peziarah lain.

Ia pun mengaku sempat melihat beberapa kegiatan yang dilakukan oleh peziarah lain.

Salah satunya peziarah yang memotong ayam hitam di puncak gunung, setelah melaksanakan puasa khusus. Usut punya usut, sang peziarah memang memiliki sebuah permintaan khusus.

"Ada orang yang ritualnya motong ayam biar terpilih jadi kepala desa dan lain sebagainya. Ada yang datang untuk mencari ilmu. Ada juga yang datang untuk mengulik sejarah," tukas Wahyu.

(Martin Bagya Kertiyasa)

      
Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari
Berita Terkait
Telusuri berita women lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement