LAPORAN review terbaru mencatat, dari 2.170 rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan, sebanyak 615 rumah sakit harus turun kelas. Kebijakan ini jelas membuat rumah sakit yang jadi "korban" review jadi kelimpungan.
Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, dr Bambang Wibowo, SpOG(K), MARS, menuturkan, reviu kelas saat ini baru dilakukan pada seluruh rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Akhirnya, ketika tidak sesuai dengan kompetensi yang sudah ditentukan, rumah sakit tersebut harus turun kelas.
"Setelah dilakukan reviu, ada 615 rumah sakit yang direkomendasikan untuk disesuaikan kelasnya. Ini dilakukan agar gambaran kompetensinya itu benar," ucap Bambang saat Press Conference di Kantor Kementerian Kesehatan RI, kawasan Kuningan, Kamis (25/7/2019).
Dia pun membeberkan alasan yang sebenarnya, yang membuat banyak rumah sakit terpaksa turun kelas, dari ketersediaan tenaga medis di setiap rumah sakit, sarana dan prasarana, serta alat medis yang mendukung majunya rumah sakit tersebut.
Misalnya, terang Bambang, rumah sakit kelas C harus punya empat dokter spesial dasar, yakni spesialis penyakit dalam, spesialis anak, spesialis bedah dan spesialis kebidanan. Ada juga penunjang anestesi, patologi klinik dan radiologi.
Sementara untuk kelas B, rumah sakit ya harus memiliki empat spesialis dasar. Ditambah alat kesehatan juga mesti lengkap sesuai Permenkes Nomor 56 Tahun 2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan RS. Lalu, Permenkes Nomor 340/menkes/per/III/2010 tentang Klasifikasi RS.
Selama ini, beber Bambang, penerapan kelas dilakukan lima tahun, saat pertama kalinya rumah sakit itu berdiri. Lalu izin perpanjangan setiap 5 tahun ini bisa ada perubahan, tapi tetap tidak diperbaiki datanya.
"Bisa saja waktu pertama rumah sakit berdiri itu dokter lengkap. Lalu dua tahun kemudian ada dokter pindah atau pensiun, lalu tidak diisi lagi slotnya. Sementara alat, dulu lengkap terus rusak dan tidak diperbaiki. Nah ini kena reviu karena tidak memperbarui data," ungkap Bambang.