Sementara rendang yang diproduksi delapan jam dan kering bisa awet sebulan. “Buat kami produsen rendang, masa simpannya harus lama, karena itu pengemasan dan pengeringan menjadi solusinya. Semakin kering, semakin awet, tapi sifat alami daging semakin kering, semakin keras. Tapi kembali pada selera karena ada juga yang lebih suka rendang basah atau kalio,” sebut Viny Felasiani, pemilik usaha rendang Uni Viny. Agar lebih awet, digunakan alat vakum untuk menyedot udara agar tidak ada bakteri masuk dan rendang buatannya dimasak hingga kering.
Viny yang menjalankan produksi rendang hampir dua tahun ini mengungkapkan, untuk menjaga konsistensi rasa dan kualitas, proses pemasakan dilakukan per 1 kg daging. Rendang tidak dimasak banyak karena akan berpengaruh pada pengadukan, daging tidak mudah hancur dan tidak gosong. Komposisi santan dan rempahnya pun sudah disesuaikan dengan cita rasa Minang, resep nenek dan keluarganya yang diturunkan lewat sang ibu.
“Saat ini Rendang Uni Viny juga sudah ada di Kem Chick Kemang yang mengakomodasi kuliner lokal. Penyuka rendang, terutama konsumen di Kem Chick yang 70% ekspatriat, sudah bisa beli karena kami masuk sejak Januari 2017,” ungkap Viny yang belajar memasak rendang dari nenek keturunan Padang Pariaman.
Selain rendang sapi, menurut Viny, rendang paru dan rendang jengkol termasuk yang diminati. Terlebih, rendang jengkol atau dikenal dengan nama jariang dimasak dalam bentuk kalio atau balado. Namun, karena dibuat basah, daya tahannya hanya sekitar satu minggu sehingga dibuat hanya ketika ada pesanan.
Saat menjelang Idul Fitri, pesanan rendang, baik sapi, paru, maupun jengkol, biasanya meningkat hingga tiga kali lipat dari biasanya. Astrid Enricka dari Komunitas Aku Cinta Masakan Indonesia (ACMI) saat acara peluncuran web series Kuliner Indonesia Kaya mengungkapkan beberapa rahasia memasak rendang agar hasilnya enak. “Pilih daging khas dalam agar rendang empuk dan gunakan santan tua untuk memunculkan rasa yang lebih legit,” sebut Astrid.